Kami tak akan keberatan, kalau itu benar-benar dipakai sepenuhnya untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk membayar gaji para tikus berdasi, yang hanya tidur saat seharusnya bekerja, atau para kadal petualang yang bermimpi makar, tapi mencari makan dari alat negara.
Bukannya kami tak sayang, tapi buat apa kami tulus menyayangi, jika yang coba kami sayangi malah membuat semua terasa kian pedih?
Pada awalnya, kami menang punya harapan dan semangat, seperti potongan lirik lagu "Risalah Hati"
Simpan mawar yang kuberi
Mungkin wanginya mengilhami
Sudikah dirimu untuk
Kenali aku dulu
Sebelum kau ludahi aku
Sebelum kau robek hatiku
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta kepadaku
Beri sedikit waktu
Biar cinta datang karena telah terbiasa
Â
Tapi, pada akhirnya, bagian lirik lain lagu yang sama, secara ironis, juga menyadarkan kami, tentang bagaimana keadaan sebenarnya.
Hidupku tanpa cintamu
Bagai malam tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu
Bagai panas tanpa hujan
Menyakitkan. Inilah yang membuat kami tak bisa berharap banyak, karena yang seharusnya bisa kami andalkan di masa sulit, justru gemar mempersulit keadaan. Mereka sudah terlalu nyaman dengan cara pikir: "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?"
Gilanya, mereka yang memilih pergi justru dianggap "pengkhianat", saat sukses di tempat lain, setelah sebelumnya diping-pong kesana kemari, dan dicampakkan begitu saja. Apa cermin sudah lenyap dari peradaban?
Kami semua masih ingat, saat resesi dahsyat pernah menyerang, mantra "badai pasti berlalu" berkumandang di segala sisi. Semua kompak berlindung di balik mantra merdu ini, dengan penuh keyakinan.
Meski samar, harapan itu terlihat dari kejauhan. Pertanyaannya, apa jadinya jika wujud asli harapan itu ternyata bencana?
Benar, badai pasti berlalu, tapi kehancuran sudah menanti, apalagi jika ternyata ada bencana susulan. Lagi-lagi, yang lemah jadi tumbal.