Bicara soal utang dan piutang, tiap orang pasti punya cerita sendiri-sendiri, tak terkecuali saya. Hanya saja, urusan satu ini sempat menjadi satu hal cukup traumatis buat saya.
Penyebabnya adalah satu momen, yang terjadi beberapa tahun lalu. Kala itu, saya diajak berbisnis patungan bersama seorang senior. Berhubung kami sudah kenal cukup lama, maka saya menyetujui ajakan ini.
Selain karena faktor bisnis, saya setuju membongkar isi tabungan saya, karena ia menjadikannya utang. Piutang yang saya terima ini, sewaktu-waktu bisa saya tagih saat membutuhkan, atau saat profit mulai datang.
Selang beberapa waktu, saya memutuskan untuk menagih piutang ini, karena memang sedang butuh uang itu. Alih-alih bertindak sesuai kesepakatan, saya malah dipersulit. Mulai dari kontak yang diblokir, sampai tetek bengek lainnya harus saya alami.
Akhirnya, dengan berat hati, saya merelakan uang itu tak terbayar. Saat itu, tiga juta rupiah amblas. Padahal, jumlah itu tidak sedikit bagi saya.
Kehilangan itu terasa makin menyakitkan, karena saya menabungnya dengan susah payah. Tapi, merelakannya pergi menjadi pilihan paling waras, daripada hidup jadi tak tenang.
Dengan kondisi tubuh saya, tak mungkin saya bisa melawan. Buktinya, saya malah dipersulit, dan secara mengenaskan jadi sasaran empuk.
Pengalaman traumatis ini, lalu membuat saya jadi lebih hati-hati. Saking hati-hatinya, sebisa mungkin, saya tidak pernah memberikan piutang dalam bentuk atau dengan alasan apapun.
Daripada saya jadi menderita, lebih baik saya mencegahnya dari awal. Apalagi, mereka yang berutang sering menjadi lebih ganas saat ditagih, karena mereka menganggap "kita butuh mereka".
Padahal, apa yang dipinjam memang sudah seharusnya dikembalikan pada saatnya. Jadi, sikap hati-hati ini bukan karena saya "pelit", tapi supaya saya tak mengulang kesalahan serupa.
Pada kasus lain, ada juga kejadian, saat saya coba me-reimburse pengeluaran saat acara kantor. Waktu itu, saya coba me-reimburse karena jumlahnya sesuai ketentuan minimal perusahaan. Inilah reimburse pertama, dan barangkali menjadi yang terakhir buat saya.
Saya ingat betul, permohonan reimburse itu saya ajukan pada bulan Desember lalu, tapi uang itu baru saya dapat di bulan Juli. Itupun dengan cara tak biasa, karena saya menggunakan uang program pinjaman karyawan sejumlah dana reimburse itu dan melaporkannya.
Dengan kata lain, utang saya dibayar dengan piutang yang masih belum cair. Selain karena memang sedang perlu, saya sekaligus ingin membereskan masalah lama. Saat itu, saya memilih tak menagih, karena trauma akibat pengalaman sejenis sebelumnya.
Pengalaman traumatis soal utang-piutang di masa lalu, juga membuat saya enggan memegang kartu kredit. Akan mengerikan, jika saya dikejar-kejar hutang, karena mengejar piutang saja sudah menghasilkan satu trauma berat.
Kalaupun terpaksa harus berutang, saya hanya melakukan jika terpaksa sekali. Soal pelunasan, pelunasan itu dilakukan dengan ketentuan sesuai kesepakatan bersama.
Meski traumatis, pengalaman soal utang-piutang ini memberi satu pelajaran berharga. Dimana, uang bisa menjadi "alat proyeksi", yang menampilkan bagaimana sifat asli seseorang, terutama setelah uang sudah didapat.
Jika sikapnya buruk, maka mereka tak sepenuhnya bisa dipercaya, kurang bertanggung jawab. Sebaliknya, jika sifatnya baik, mereka bisa dipercaya, meski tetap harus diwaspadai, karena tidak menutup kemungkinan bisa berubah.
Rasa trauma ini juga mengajak saya untuk lebih berhati-hati soal utang-piutang. Mengingat dampaknya, rasa percaya perlu diimbangi dengan kehati-hatian, supaya semua tetap selamat. Bagaimanapun, uang adalah perkara sangat sensitif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI