Saya ingat betul, permohonan reimburse itu saya ajukan pada bulan Desember lalu, tapi uang itu baru saya dapat di bulan Juli. Itupun dengan cara tak biasa, karena saya menggunakan uang program pinjaman karyawan sejumlah dana reimburse itu dan melaporkannya.
Dengan kata lain, utang saya dibayar dengan piutang yang masih belum cair. Selain karena memang sedang perlu, saya sekaligus ingin membereskan masalah lama. Saat itu, saya memilih tak menagih, karena trauma akibat pengalaman sejenis sebelumnya.
Pengalaman traumatis soal utang-piutang di masa lalu, juga membuat saya enggan memegang kartu kredit. Akan mengerikan, jika saya dikejar-kejar hutang, karena mengejar piutang saja sudah menghasilkan satu trauma berat.
Kalaupun terpaksa harus berutang, saya hanya melakukan jika terpaksa sekali. Soal pelunasan, pelunasan itu dilakukan dengan ketentuan sesuai kesepakatan bersama.
Meski traumatis, pengalaman soal utang-piutang ini memberi satu pelajaran berharga. Dimana, uang bisa menjadi "alat proyeksi", yang menampilkan bagaimana sifat asli seseorang, terutama setelah uang sudah didapat.
Jika sikapnya buruk, maka mereka tak sepenuhnya bisa dipercaya, kurang bertanggung jawab. Sebaliknya, jika sifatnya baik, mereka bisa dipercaya, meski tetap harus diwaspadai, karena tidak menutup kemungkinan bisa berubah.
Rasa trauma ini juga mengajak saya untuk lebih berhati-hati soal utang-piutang. Mengingat dampaknya, rasa percaya perlu diimbangi dengan kehati-hatian, supaya semua tetap selamat. Bagaimanapun, uang adalah perkara sangat sensitif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H