Apa gunanya menjadi sorotan, jika itu hanya untuk pencitraan? Apa gunanya mengejar mimpi semu, hanya untuk mendapat sorotan sesaat?
Aku takkan tega berbuat sebodoh itu, karena sorotan bukan untuk dikejar. Ia justru akan mengejar mereka yang "layak", meski si penerima itu sebenarnya tak suka disorot.
Benar, pepatah bilang "no pain no gain". Tapi sorotan adalah satu karunia, yang takkan bisa dibeli dengan uang. Ia akan betah tinggal dalam diri seseorang, yang tidak mati-matian mengejarnya, hanya demi aktualisasi diri. Ia adalah satu kehadiran, bukan satu "yang dihadirkan", apalagi secara paksa.
Meski kondisi tubuh ini "tidak biasa", aku tetap ingin hidup secara biasa, bekerja, berkeluarga, dan kelak berpulang secara wajar. Aku hanya ingin menjadi seorang manusia, karena aku hidup sebagai seorang manusia. Selebihnya, terserah pada Yang Diatas.
Aku tak akan kaget, jika mereka bertanya, mengapa aku bersikap seperti Che Guevara. Jiwa bocah mereka memang masih belum mampu berpikir jauh, apalagi jernih. Namanya juga masih bocah.
Andai harus menjawab, aku hanya akan memakai potongan lirik "Lagu Putih" ini sebagai teguran:
Ingatkah engkau
waktu kau menyakiti?
Hatiku yang putih
telah kau nodai
Ketulusanku
telah kau aniaya
dan kudiam saja
Selebihnya, terserah. Kalau mereka tersadar syukur, kalau makin menjadi ya sudah. Apa yang disampaikan lewat mulut belum tentu tersampaikan ke hati, tapi apa yang disampaikan dengan hati, seharusnya bisa sampai ke hati.
Meski menjengkelkan, aku tetap berterima kasih. Mereka, para bocah itu, sudah memberi banyak pelajaran, untuk melihat dan merasakan dengan hati. Mereka juga sudah memberi satu demi satu rambu petunjuk, yang memandu perjalananku.
Kini, rambu itu semakin banyak. Aku tahu, persimpangan sudah dekat. Jika saat bersimpang jalan sudah tiba, aku akan meminjam potongan lirik "Lagu Putih" ini sebagai pesan:
Selamat tinggal kau kelam
yang kubawa hanya
rindu dendam
Kutatap sinar gemilang
sedangkan jiwaku
remuk redam
Lagu putihku mendayu
dan kau masih tetap kawanku