Gilanya, pada malam sebelum keberangkatan, mereka begitu berisik. Telepon dan notifikasi menyerbu sepanjang malam. Entah kenapa, mereka gaduh, seperti bocah balita. Jika mereka memang balita, aku bisa memaklumi, tapi, fisik mereka bahkan sudah terlalu tua untuk disebut sebagai remaja. Semua kegaduhan itu membuatku tak bisa tidur sepanjang malam. Persiapan? Seadanya sajalah!
Soal tempat, sebenarnya cukup menyenangkan. Hawanya sejuk, dan pemandangannya unik. Ada si kembar Gede-Pangrango dan Halimun-Salak, yang terlihat ceria di saat cerah, sekaligus anggun saat berselimut awan. Ada juga makanan enak berharga mahal buatku.
Tapi, apalah arti semua itu, jika tubuh ini kelelahan? Aku hanya bisa tidur bersama kelelahan yang terus menagih waktu istirahat. Rasanya? Mengerikan!
Inilah satu penyesalan yang datang bersama sebuah tekad; aku takkan pernah mengikuti acara seperti ini, dalam kondisi kelelahan. Sepenting apapun judul acaranya, selama wujudnya hanya bersenang-senang, aku akan tegas berkata "Tidak!", karena tumbang akibat kelelahan adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar.
Satu-satunya hal berharga yang kutemukan adalah, aku melihat hal lain yang coba ditutupi di sana. Benar, selama ini, di balik hedonisme dan kegilaan yang kulihat, ada pemandangan timpang; ada budaya "kerja bakti" dengan bungkus "rasa memiliki" dan "dedikasi". Saldo minus sudah biasa, perawatan rutin dan bonus hanya sebuah mitos, dan keselamatan hanya akan jadi perhatian setelah ada yang celaka.
"Saya sebetulnya sudah jengkel. Sudah berbulan-bulan semua kacau dari awal. Ongkos saya minus, terpaksa gali lubang tutup lubang. Kendaraan tak pernah diservis rutin, sekali rusak ya wassalam.", Itulah keluh kesah Pak De, saat mengantarku pulang dari tempat piknik.
"Saya juga Pak. Baru pulang dari mudik, seharusnya masih istirahat, malah disuruh berangkat. Katanya penting, tapi ternyata cuma hura-hura.", Sambungku.
"Daripada keluar uang buat hura-hura begini, seharusnya benahi dulu semua yang mendesak. Gara-gara ini, saya rela nggak libur lebaran di kampung. Nanti kalau setelah ini balik lagi ke semula, sama aja bohong.", Cetus Pak De.
Ternyata, semua keganjilan yang kurasakan, adalah pemandangan rutin buat Pak De. Beruntung, kebiasaan berhematku banyak membantu. Tak ada hutang, karena semua digunakan sesuai kebutuhan. Malah, selalu ada yang bisa disisihkan untuk tabungan.
Aku hanya peduli dengan diriku, karena di luar pekerjaan, ada keluarga dan teman yang juga mengisi hidupku. Aku memilih tak terlalu masuk ke dalam lingkaran eksklusif mereka, demi menjaga keseimbangan. Inilah satu kata kunci buatku, dalam menjalani hidup sebagai seorang rantau.
Keputusan ini memang tak mudah, karena aku dianggap kesulitan membaur. Padahal, tak ada masalah di situ. Semua kulakukan demi kebaikan bersama. Aku aman, mereka tak kerepotan.