Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Bocah Itu

1 Agustus 2020   14:10 Diperbarui: 1 Agustus 2020   14:19 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yah maklumlah, namanya juga masih bocah."

Itulah kata-kata yang sering kudengar, tiap kali Pak De dan aku saling bercerita masalah masing-masing, termasuk soal pekerjaan, khususnya sejak pagebluk menyerang.

Memang, sejak masa awal tinggal di ibukota, Pak De menjadi satu dari sedikit orang di kantor, yang benar-benar bisa memahami dan kupahami dengan sangat baik. Ia memang hanya seorang supir, tapi pengalamannya yang kaya, membuatnya mampu melihat situasi secara utuh.

Sebagai seorang yang masih hijau, aku bersyukur karena Pak De begitu terbuka. Ia benar-benar membantuku beradaptasi di lingkungan nan rumit ini.

Inilah yang membuatku selalu memanggil "Pak" disaat semua memanggilnya "Mas" , selain karena faktor umur tentunya. Maklum, umur Pak De hampir dua kali umurku.

Aku ingat, sejak pertama kali bertemu, Pak De selalu konsisten dengan kata-katanya. Terlepas dari pembawaannya yang kadang berangasan, keterbukaan dan kelugasannya turut membuka mata ini melihat semuanya satu persatu.

Dalam kegembiraanku hidup di ibukota, aku kadang merasa ganjil, karena orang-orang di lingkungan kerja terdekat, justru kerap menyalahpahamiku. Padahal, apa yang kulakukan adalah satu hal wajar, bukan "New Normal".

Keganjilan pertama yang kurasakan adalah, aku kerap dipersalahkan, untuk hal yang sebenarnya sudah kukerjakan sesuai perintah. Kadang, segera setelah pekerjaanku selesai, mereka mengubah perintah seenak perut, dan secara tiba-tiba menjadikanku biang kerok, karena dianggap melakukan satu kesalahan.

Awalnya, aku melihat ini sebagai satu latihan, tapi perasaan ganjil itu kian menjadi, karena ternyata itu adalah kebiasaan mereka sejak lama. Gilanya, kebiasaan ganjil itu terus berulang.

Kebiasaan ganjil lainnya muncul, dari pola kerja mereka yang sering kelewat batas. Di satu hari, mereka masih membahas pekerjaan sampai subuh hari. Di hari lain, mereka bisa berhura-hura, minum sampai puas, atau makan makanan mahal, seperti orang tak pernah makan.

Pada akhirnya, aku mulai melihat ini sebagai satu ketidakberesan. Momen ini datang, saat aku kembali dari Kota Klasik, tepat saat libur lebaran. Aku ingat, mereka dengan enaknya menyuruhku berangkat piknik, padahal tubuh rapuh ini masih kelelahan, setelah berjam-jam naik kereta seorang diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun