Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Mengenal Marcelo "El Loco" Bielsa

20 Juli 2020   21:50 Diperbarui: 21 Juli 2020   04:57 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Leeds United, Marcelo Bielsa, menyaksikan dari pinggir lapangan saat timnya menghadapi Arsenal di laga Piala FA, 6 Januari 2020.(AFP/ADRIAN DENNIS via KOMPAS.com))

Bicara soal sosok dengan sebutan El Loco (Si Gila), sosok satu ini mungkin langsung "klik" di pikiran pecinta bola Indonesia. Ia adalah Cristian Gonzales penyerang senior kelahiran Uruguay. Sebutan ini lekat dengan Gonzales, karena produktivitas golnya yang oke, meski kadang agak temperamental.

Tapi, di tingkat internasional, ada satu sosok, yang lebih dulu lekat dengan sebutan El Loco, yakni Marcelo Bielsa (65), pelatih Leeds United asal Argentina.

Julukan ini lekat dengan Bielsa, karena obsesinya pada detail, permainan vertikal, dan eksentrikanya. Salah satu kebiasaan khasnya adalah berjongkok di tepi lapangan.

Dari segi gelar juara, prestasi Bielsa bisa dibilang biasa saja, jika dibandingkan dengan para pelatih top dunia. Sejak mulai melatih tahun 1990, Bielsa hanya meraih dua gelar Liga Argentina (Masing-masing satu bersama Newell's Old Boys dan Velez Sarsfield), satu medali emas Olimpiade bersama Timnas Argentina (2004), dan satu trofi Championship Division bersama Leeds United musim 2019/2020.

Selebihnya, ia lekat dengan ketidakberuntungan. Di level klub, ia menjadi finalis Copa Libertadores, Liga Champions-nya Amerika Selatan (1992) bersama Newell's Old Boys, finalis Copa Del Rey dan Liga Europa (musim 2011/2012) bersama Athletic Bilbao, dan finalis Copa America 2004 bersama Timnas Argentina.

Catatan minor ini makin lengkap, dengan kiprah antiklimaks bersama Olympique Marseille (2014/2015), plus sepasang kiprah singkat bersama Lazio (2016) dan Lille (2017)

 Kiprah Bielsa di Marseille disebut antiklimaks, karena mereka gagal lolos ke Liga Champions di akhir musim, meski sempat menjadi pemuncak klasemen Ligue 1 di paruh pertama musim kompetisi.

Jika melihat bagaimana pendekatan taktikal Bielsa, apa yang dicapainya ini adalah hasil dari gaya main agresif bertempo tinggi yang jadi ciri khasnya. Benar, ini sangat enak ditonton, tapi efek samping yang dihasilkan justru menjadi bumerang.

Ini mirip dengan "Gegenpressing" Juergen Klopp, sampai kekalahan Liverpool di final liga Champions musim 2017/2018. Setelah fase adaptasi di awal dan "panas" di pertengahan musim, gaya main seperti ini sering menghasilkan "kolaps" di akhir musim, akibat beban fisik kelewat berat yang harus ditanggung para pemain.

Contoh lain yang muncul ada pada dua Timnas yang pernah dilatih Bielsa, yakni Argentina (1998-2005) dan Chile (2007-2011). Di fase kualifikasi Piala Dunia, kedua tim ini sama-sama lolos dengan meyakinkan. Tapi, di turnamen sesungguhnya, mereka malah kedodoran.

Akibatnya, kedua tim ini sama-sama tersingkir dini. Argentina keok di fase grup Piala Dunia 2002, sementara Chile angkat koper di perdelapan final Piala Dunia 2010. Praktis, hanya gaya main agresif Bielsa sajalah yang jadi nilai plus di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun