Bicara soal sosok dengan sebutan El Loco (Si Gila), sosok satu ini mungkin langsung "klik" di pikiran pecinta bola Indonesia. Ia adalah Cristian Gonzales penyerang senior kelahiran Uruguay. Sebutan ini lekat dengan Gonzales, karena produktivitas golnya yang oke, meski kadang agak temperamental.
Tapi, di tingkat internasional, ada satu sosok, yang lebih dulu lekat dengan sebutan El Loco, yakni Marcelo Bielsa (65), pelatih Leeds United asal Argentina.
Julukan ini lekat dengan Bielsa, karena obsesinya pada detail, permainan vertikal, dan eksentrikanya. Salah satu kebiasaan khasnya adalah berjongkok di tepi lapangan.
Dari segi gelar juara, prestasi Bielsa bisa dibilang biasa saja, jika dibandingkan dengan para pelatih top dunia. Sejak mulai melatih tahun 1990, Bielsa hanya meraih dua gelar Liga Argentina (Masing-masing satu bersama Newell's Old Boys dan Velez Sarsfield), satu medali emas Olimpiade bersama Timnas Argentina (2004), dan satu trofi Championship Division bersama Leeds United musim 2019/2020.
Selebihnya, ia lekat dengan ketidakberuntungan. Di level klub, ia menjadi finalis Copa Libertadores, Liga Champions-nya Amerika Selatan (1992) bersama Newell's Old Boys, finalis Copa Del Rey dan Liga Europa (musim 2011/2012) bersama Athletic Bilbao, dan finalis Copa America 2004 bersama Timnas Argentina.
Catatan minor ini makin lengkap, dengan kiprah antiklimaks bersama Olympique Marseille (2014/2015), plus sepasang kiprah singkat bersama Lazio (2016) dan Lille (2017)
 Kiprah Bielsa di Marseille disebut antiklimaks, karena mereka gagal lolos ke Liga Champions di akhir musim, meski sempat menjadi pemuncak klasemen Ligue 1 di paruh pertama musim kompetisi.
Jika melihat bagaimana pendekatan taktikal Bielsa, apa yang dicapainya ini adalah hasil dari gaya main agresif bertempo tinggi yang jadi ciri khasnya. Benar, ini sangat enak ditonton, tapi efek samping yang dihasilkan justru menjadi bumerang.
Ini mirip dengan "Gegenpressing" Juergen Klopp, sampai kekalahan Liverpool di final liga Champions musim 2017/2018. Setelah fase adaptasi di awal dan "panas" di pertengahan musim, gaya main seperti ini sering menghasilkan "kolaps" di akhir musim, akibat beban fisik kelewat berat yang harus ditanggung para pemain.
Contoh lain yang muncul ada pada dua Timnas yang pernah dilatih Bielsa, yakni Argentina (1998-2005) dan Chile (2007-2011). Di fase kualifikasi Piala Dunia, kedua tim ini sama-sama lolos dengan meyakinkan. Tapi, di turnamen sesungguhnya, mereka malah kedodoran.
Akibatnya, kedua tim ini sama-sama tersingkir dini. Argentina keok di fase grup Piala Dunia 2002, sementara Chile angkat koper di perdelapan final Piala Dunia 2010. Praktis, hanya gaya main agresif Bielsa sajalah yang jadi nilai plus di sini.