Ya, inilah yang harus kuhadapi sampai akhir. Inilah "laku prihatin" yang harus kujalani. Inilah masa dimana sebungkus nasi hanya berlauk sepotong tempe atau sebungkus sambal terasa begitu nikmat.
Bukan untuk mencari kesaktian seperti dalam cerita dongeng, tapi, masa sulit adalah sarana terbaik dari Atas, untuk melihat semuanya secara murni, sebelum melangkah lebih jauh.
Benar kata orang, "Masa sulit akan menampilkan dengan jujur, bagaimana wujud asli manusia. "
Di masa sulit, tak ada lagi yang tersamarkan. Dalam bayang suram, masa sulit justru memurnikan. Inilah saat terbaik untuk melihat, siapa madu siapa racun, siapa merpati siapa ular.
Perjalanan "Vivere Pericoloso" ini, memang menjadi kata penutup perjalanan di usia tiga pangkat tiga, masa penuh keputusan berani, sekaligus kata pembuka di usia empat kali tujuh, masa dimana level berikutnya sudah menanti untuk dijalani.
Mungkin, apa yang kualami ini terdengar tak biasa, tapi setiap orang punya jalan masing-masing, yang harus ditempuhnya sampai akhir, dengan dirinya sebagai pelaku utama. Tak ada pilihan lain, sekalipun itu adalah jalan pedang dalam sunyi, seperti kata Miyamoto Musashi, sang legenda Negeri Samurai:
Kalau kau mati, aku pun mati.
Matiku akan punya arti bagiku
seperti matimu berarti buatmu.
Kalau kau bisa mengakhiri hidupmu dengan tenang, aku pun bisa.
Takkan ku terinjak layaknya serangga
atau tenggelam dalam nestapa.
Akulah penentu jalanku sendiri.
Tak seorang pun bisa melakukannya
biarpun orang itu adalah engkau! Â
(Dikutip dari novel "Musashi" karya Eiji Yoshikawa, Bagian Keempat: Angin)
Karena, hidup adalah sebuah perjalanan menuju Sunyaruri (Jawa: alam kelanggengan; alam kosong tapi berisi).