Tak ketinggalan, situasi tegang saat itu memberikan satu pengalaman tak biasa bagiku. Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, aku melihat kendaraan tempur bersiaga di tepi jalan, bak mobil angkot menunggu penumpang. Di udara, helikopter lalu lalang tiap hari, bak capung mencari makan. Aku juga mendapati, akses jalan diblokir demi menjaga keamanan.
Untuk beberapa hari, situasi mencekam seperti sedang ada perang. Tunggu, ini pesta rakyat, atau ajang unjuk gigi para pembesar? Inikah wajah demokrasi di negara berbunga?
Syukurlah, pada akhirnya, semua ketegangan itu berakhir damai. Kedua sosok utama yang berseteru justru menjadi sekutu. Begitulah, politik memang penuh kutu loncat, karena kepentingan (masih) diatas segalanya.
Momen kedua datang, saat puncak musim hujan menyapa ibukota. Saat itu, aku mengambil keputusan tak biasa, akibat tak kebagian tiket kereta api. Pada masa liburan akhir tahun, aku kembali ke ibukota tepat di hari tutup tahun, bukan tahun baru.
Setibanya di stasiun pusat kota, aku langsung disambut hujan deras selama semalam suntuk. Tak ada letupan kembang api, karena malam itu langit sibuk mencurahkan semua beban beratnya ke bumi.
Tak dinyana, itulah titik awal masa banjir besar di ibukota. Beruntung, daerah tempat tinggalku bebas dari banjir, meski sejumlah tempat sudah menjadi sungai dadakan akibat tergenang air. Entah apa jadinya, kalau aku baru kembali dari Kota Klasik, tepat saat tahun baru datang. Mungkin, aku harus naik perahu karet atau kendaraan amfibi (yang belum tentu ada) dari stasiun.
Apa boleh buat, meski modernisasi terus mempercantik wajahnya, kondisi lingkungan ibukota sudah terlanjur payah. Saat puncak musim hujan datang, yang bisa dilakukan hanya menyuruh air mengantri masuk ke dalam tanah, layaknya mengabsen anak sekolah.
Alhasil, selama puncak musim hujan, ibukota untuk sejenak berganti nama menjadi "Terendam". Bukan, ini bukan kota tetangga Amsterdam, Rotterdam, atau Volendam di Negeri Oranye sana.
Usai banjir besar reda, hanya ada sedikit waktu jeda, sebelum bahaya ketiga datang dalam wujud pagebluk. Pagebluk ini melumpuhkan dunia, dan membuat semua jadi kacau. Beruntung, saat itu aku kehabisan tiket kereta lebaran. Pagebluk ini memaksa semua orang hidup dalam karantina.
Di sini, "Vivere Pericoloso" kembali menjadi satu keputusan. Di saat aku diminta pulang ke Kota Klasik, aku memilih bertahan. Bukan karena ingin gagah-gagahan, tapi karena inilah pilihan paling masuk akal. Saat bahaya membatasi semuanya, diam dan bertahan adalah cara menyerang terbaik, sekalipun dilakukan di zona merah menyala.
Sekali lagi, ini bukan keputusan populer, terutama buat mereka yang ingin mencoba lari dari kenyataan. Benar, aku harus rela mendapat gaji yang tersunat. Tak ada kiriman uang dari orang tua, karena aku bukan lagi  bocah balita. Pulang? Kelak, itu hanya akan menuai banyak masalah.