Hasilnya, kita banyak diperlihatkan, satu sisi tentang pemain kita, yang selama ini sering diabaikan: level stamina yang tidak kuat bermain setelah laga melewati menit ke 60.
Belakangan, Shin Tae Yong sendiri menganggap PSSI kurang realistis, karena PSSI memasang target prestasi terlalu tinggi, untuk ukuran tim penghuni peringkat 173 FIFA.Â
Sederhananya, kita semua sekali lagi disuguhi satu cerita lama, tentang absurditas  cara berpikir PSSI.
Seperti biasa, mereka menggunakan animo dan ekspektasi tinggi publik sepak bola nasional sebagai acuan, dan menimpakan semua kesalahan kepada pelatih, jika kekalahan didapat.
Mereka justru masih saja mengabaikan pembinaan pemain muda dan perbaikan kualitas kompetisi. Padahal, dua hal inilah yang bisa menghasilkan Timnas senior berkualitas.
Inilah yang membuat Timnas Indonesia kerap kedodoran, bahkan di level Asia Tenggara sekalipun.
Jadi, pendekatan rasional Shin Tae Yong seharusnya bisa menjadi titik awal perbaikan. Sayang, pengurus PSSI seperti biasa hanya berpikir pendek dan enggan disalahkan.
Bahkan, kali ini mereka seperti coba "playing victim", dengan memanfaatkan keengganan Shin Tae Yong berangkat ke Indonesia.
Sebenarnya, masalah semacam ini adalah satu penyakit lawas di sepak bola nasional. Berhubung situasinya sudah mulai memanas, bukan kejutan jika periode kepelatihan Shin Tae Yong di Timnas Indonesia tidak awet.
Tapi, untuk memberikan efek kejut, seharusnya Shin Tae Yong bisa saja mundur sebelum diberhentikan PSSI. Dari sinilah, orang akan menangkap, ada ketidakberesan. Otomatis, pelatih lain pun akan tahu, seperti apa wajah asli PSSI. Ini sekaligus akan membuat PSSI tak lagi sepenting yang para pengurusnya kira.