Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita, Candrabirawa, dan Pandemi Corona

22 Mei 2020   14:33 Diperbarui: 22 Mei 2020   14:37 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candrabirawa (wayangindonesia.web.id)

Jelang akhir Perang Bharatayuda, Prabu Duryudana menunjuk Prabu Salya sebagai panglima perang kubu Kurawa. Prabu Salya menjadi panglima perang, setelah Adipati Karna gugur dalam perang tanding melawan Arjuna.

Meski sebenarnya sudah mulai terdesak, akibat sudah kehilangan banyak tokoh kunci yang sakti, seperti Resi Bisma, Resi Durna, dan Adipati Karna, keberadaan Prabu Salya sebagai panglima perang tetap memberikan sedikit harapan.

Maklum, selain sakti dan sarat pengalaman, Prabu Salya dihormati pihak Pandawa dan Kurawa. Di pihak Pandawa, Prabu Salya merupakan paman para Pandawa. Ia adalah kakak Dewi Madrim, ibu si kembar Nakula dan Sadewa. Di sisi lain, Prabu Salya adalah ayah Dewi Banowati, istri Prabu Duryudana. Dengan kata lain, ia adalah ayah mertua Prabu Duryudana.

Inilah yang membuat pihak Pandawa merasa segan dengan Prabu Salya. Apalagi, di medan perang Bharatayuda, Prabu Salya mengeluarkan ajian Candrabirawa, yang berwujud sesosok raksasa ganas dan sakti.

Amukan Candrabirawa di Padang Kurusetra, mampu membuat pihak Pandawa kewalahan. Akhirnya, Bima dan Arjuna harus turun tangan. Pada satu kesempatan, panah Arjuna berhasil melukai tubuh Candrabirawa. Di kesempatan lain, gada Bima juga berhasil menghantam Candrabirawa.

Tapi, bukannya mati, tiap tetes darah yang keluar dari luka di tubuh Candrabirawa berubah menjadi Candrabirawa baru. Jadi, bukannya habis, jumlah Candrabirawa malah bertambah banyak setiap dilukai. Inilah keistimewaan ajian Candrabirawa. Pihak Pandawa pun makin kewalahan.

Melihat gelagat kurang baik ini, Prabu Kresna lalu bergegas membawa Prabu Puntadewa ke medan perang. Sebagai seorang titisan Dewa Wisnu, ia mengetahui, Prabu Salya dan ajian Candrabirawa hanya bisa dikalahkan, oleh kesatria berdarah putih, yakni Puntadewa alias Yudistira, si sulung dari Pandawa Lima.

Singkat cerita, Prabu Salya akhirnya dapat dikalahkan dan gugur di tangan Puntadewa. Bersamaan dengan itu, Candrabirawa lenyap tanpa bekas. Takdir ini merupakan perwujudan kutukan Resi Bagaspati, mertua Prabu Salya, atas kesalahan yang dilakukan Prabu Salya di masa lampau, saat dirinya masih bernama Raden Narasoma.

Cerita di atas, merupakan ringkasan cerita, pada salah satu lakon dalam babakan Perang Bharatayuda versi pewayangan Jawa. Dalam pewayangan Jawa, lakon gugurnya Prabu Salya merupakan salah satu lakon di babak "Rubuhan", babak ke 9 dari 10 babak Perang Bharatayuda.

Jika melihat lagi alur cerita pada lakon di atas, entah kenapa, saya melihat tokoh Arjuna, Bima, Puntadewa, Candrabirawa, dan Prabu Kresna, cukup relevan dengan situasi sekarang.
Dalam hal ini, situasi di masa pandemi Corona, khususnya di Indonesia.

Secara kebetulan, Candrabirawa menampilkan sifat virus Corona, antara lain, ganas dan bisa menambah jumlah dirinya. Bima dan Arjuna mewakili mereka yang  sebenarnya bisa mengatasi masalah, dengan kemampuan yang dimiliki, tapi justru membuat masalah itu makin rumit, karena mereka hanya berpikir pendek.

Sementara itu, Prabu Kresna merepresentasikan kewaspadaan dan kecermatan. Meski hanya berperan sebagai penasihat, Prabu Kresna mampu melihat situasi secara menyeluruh, dan mengambil keputusan tepat, meski tidak biasa.

Disebut tak biasa, karena yang disuruh maju ke medan perang adalah Puntadewa, seorang yang tenang, sabar, jujur, dan tidak pernah membunuh orang sebelumnya. Bahkan, karena karakternya ini, Puntadewa kadang dianggap "lemah".

Tapi, justru karena itulah, ia justru mampu mengalahkan Prabu Salya yang sakti, sekaligus menjinakkan amuk Candrabirawa. Bukan dengan kekuatan atau kepercayaan diri semata, tapi justru dengan kecermatan dan ketenangan. Ini sangat relevan dengan situasi sekarang. Mengapa?

Karena, dalam menghadapi ketidakpastian seperti ini, kita tidak boleh hanya berpikir pendek dan terlalu percaya diri. Hasilnya memang akan ada, tapi keadaan justru akan lebih kacau, karena tak ada kecermatan dan ketenangan di dalamnya.

Tentunya, dalam situasi tak biasa seperti sekarang, hal-hal yang sebelumnya menjadi kebiasaan di masa lebaran, seperti mudik, berbelanja baju baru, dan lain-lain, boleh dikesampingkan dulu. Lagipula, teknologi informasi sudah maju, kenapa tidak dimanfaatkan?

Ini memang melawan kebiasaan yang sudah membudaya di masyarakat kita, tapi berhubung pandemi Corona ini berurusan dengan nyawa manusia, ini menjadi satu hal yang harus dilakukan. Keselamatan lebih berharga dari foto bersama. Lagipula, masih ada kesempatan lain saat pandemi Corona sudah reda nanti.

Meski aturan yang ada di lapangan masih belum konsisten, kita harus tetap tenang dan berpikir cermat. Apalagi, kita masih belum tahu, berapa lama lagi situasi akan kembali normal.

Minimal, kita bisa melakukannya, untuk menjaga diri sendiri, atau orang-orang terdekat kita. Jangan sampai, setelah libur lebaran usai, kita malah mendapat masalah baru.

Bukan karena kita lemah atau sedang susah, tapi supaya kita bisa menyikapi keadaan dengan tepat. Dari sinilah, situasi kurang baik bisa diatasi, tanpa membuang banyak waktu dan tenaga. 

Kekuatan tanpa ketenangan dan ketepatan hanya akan memperparah sebuah kerusakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun