Berkat performa inspiratifnya di Meksiko, El Diego sukses meraih trofi Bola Emas di akhir turnamen, dan mengukuhkan diri sebagai legenda hidup. Kelak, ia menjadi "benchmark" pemain bertipe "nomor 10" di Argentina.
Tak heran, setiap kali muncul pemain muda berbakat berposisi "nomor 10" di Argentina, embel-embel "The Next Maradona" pasti akan mengikuti. Komparasi dengan El Pibe de Oro akan menjadi-jadi, jika si pemain itu misalnya berpostur kecil dan berkaki kidal seperti sang legenda.
Alhasil, alih-alih menjadi pujian atau penyemangat, label "The Next Maradona" justru menjadi beban. Karena, ada harapan begitu besar, dengan standar begitu tinggi di dalamnya.
Tak heran, peraih enam trofi Ballon D'Or seperti Messi saja kerap kesulitan tampil maksimal di Tim Tango, begitu juga dengan pemain-pemain lain yang pernah mendapat label The Next Maradona lainnya. Belum ada yang bisa menyamai apalagi melampaui level Maradona yang asli.
Tak ada yang luar biasa, jika sebuah tim bisa menjadi juara sebagai sebuah tim, terutama jika situasi-kondisi memang mendukung sejak awal. Sebaliknya, jika sebuah tim yang tak diunggulkan bisa meraih trofi, berkat sinar terang seorang bintang, itu baru luar biasa.
Mungkin inilah alasan, mengapa banyak pemain berlomba-lomba menjadi bintang, tapi gagal bersinar. Karena, mereka melupakan hakekat sepak bola sebagai olahraga tim.
Inilah juga alasan, mengapa Argentina masih saja kerap patah hati di turnamen mayor. Nostalgia atas kebintangan El Diego ternyata masih terlalu indah untuk dilupakan. Padahal, seorang pemain hanya akan bersinar terang, jika ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa harus menjadi "versi tiruan" dari siapapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H