Lewat "sendiri" juga, kita bisa melihat, mana hal baik dan buruk, mana yang harus dijauhi atau diikuti. Dari sini, kita bisa juga memilah, siapa saja yang bisa dijadikan "teman dekat", "teman kerja", atau dijauhi sama sekali.
Bukan bermaksud untuk menjadi "eksklusif", tapi ini adalah bagian dari "menjaga diri" agar tidak terjerumus dalam masalah akibat tak bisa berhati-hati. Bagaimanapun, kita adalah pihak paling pertama, yang paling bisa bertanggung jawab atas keselamatan diri kita. Apalagi, jika misalnya kita hidup seorang diri di perantauan.
Di sisi lain, "sendiri" adalah teman pertama seseorang, saat ia mulai menjalani kehidupan di dunia, dan akan terus menemani, sampai bertemu "teman hidup". Setelahnya, "sendiri" akan kembali menemani kita, kali ini sebagai teman terakhir, saat tugas kita di dunia ini sudah selesai, dan sudah waktunya kembali ke asal.
Pada akhirnya, "sendiri" menjadi satu cerminan, dari serba hitam-putihnya hidup. "Sendiri" sering disalahartikan sebagai sesuatu yang negatif, hanya karena satu sisi yang selama ini terlalu banyak dilihat. Padahal, ia punya sisi lain yang sayangnya sering terabaikan. Andai bisa dilihat secara utuh, "sendiri" sebenarnya tak perlu dianggap "buruk" apalagi "tabu". Ia adalah sesuatu yang "seimbang", karena dibalik sisi negatifnya, ia tetap punya sisi positif yang sama besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H