Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sendiri

4 Januari 2020   15:46 Diperbarui: 4 Januari 2020   15:49 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum melangkah lebih jauh, izinkan saya untuk sedikit menjelaskan, tulisan ini merupakan hasil refleksi dari pengalaman pribadi, bukan untuk digeneralisasi secara luas. Supaya, tak ada salah paham di kemudian hari.

Bicara soal kata "sendiri", kebanyakan orang akan mengasosiasikannya dengan kata "sepi", "sunyi", "suram" atau sejenisnya. Pada titik ekstem, "sendiri" juga kerap diasosiasikan dengan cap "anti-sosial". Akibatnya, mereka yang cenderung berkarakter introvert sering dianggap "bermasalah", hanya karena mereka lebih nyaman saat sendirian dalam suasana tenang.

Boleh dibilang, "sendiri" adalah satu kata yang punya lebih banyak cap negatif dibanding positif. Saking jeleknya, ada sebuah anekdot yang berbunyi, "sepi, sendiri, aku benci". Pertanyaannya, apa yang membuat kata satu ini terlihat seperti pesakitan, khususnya di negara kita?

Satu-satunya jawaban paling masuk akal adalah, karena kebanyakan masyarakat kita masih memegang kuat sifat budaya "kolektif" alias "paguyuban". Dimana, kebersamaan dan keterbukaan menjadi kata kunci, sementara "sendiri" menjadi sebuah "tabu", yang diidentikkan dengan cap "individualis", atau sejenisnya.

Jika hanya melihat dari satu sisi, tak ada yang salah disitu, karena manusia memang termasuk "makhluk sosial". Mereka tak bisa selamanya menangani semuanya sendiri. Lagipula, manusia juga tak bisa berkembang biak dengan cara membelah diri kan?

Tapi, jika dilihat lebih jauh, budaya "kolektif" kadang punya satu kelemahan alami, yakni kurang menghargai privasi dan batasan pribadi seseorang. Tak heran, dalam setiap pertemuan keluarga besar atau rekan sejawat, pertanyaan seputar hal-hal privat macam berat badan, pekerjaan, nominal gaji, atau pasangan hidup bisa terlontar begitu saja. Alasannya, supaya kedekatan bisa terjalin.

Padahal, kedekatan pada dasarnya bukan tercipta dari sebatas banyak-sedikitnya informasi personal yang dimiliki, tapi dari "rasa nyaman" dari dalam hati. Semakin "nyaman" seseorang, ia akan dengan sukarela membuka diri.

Situasi bisa jadi memuakkan, jika kumpulan informasi personal itu ternyata lalu dibandingkan dengan orang lain, dan dipergunjingkan secara luas. Alhasil, alih-alih kedekatan, "racun" lah yang tercipta, bukan rasa nyaman yang didapat, tapi rasa muak. Apalagi, kalau ujung-ujungnya kita "dipaksa" menjadi "seragam", meski itu jelas-jelas di luar kemampuan kita.

Sebagai contoh, kita "dipaksa" untuk ikut bergaya hidup konsumtif, dengan alasan supaya "bisa membaur" dengan yang lain. Padahal untuk bisa berhemat tiap bulan saja sudah susah payah, karena semua keperluan dibayar sendiri. Pertanyaannya, apakah "bersama" itu harus "selalu sama"? Jelas tidak.

Andai keuangan kita sampai minus, bahkan terjerat hutang gara-gara ini, mereka bisa menjadi pihak yang lepas tangan pertama kali, dan berbalik menyalahkan kita karena dianggap "ceroboh". Apalagi, jika ternyata mereka punya masalah serupa sejak lama, dan tak ingin "menderita" sendirian.

Pada titik ini, "sendiri" menjadi satu kata kunci yang krusial. Karena, ia bisa mengajak kita untuk lebih mengenal siapa diri kita, termasuk hal-hal yang berada di luar jangkauan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun