Dalam sepak bola, sebuah tim bisa mencapai periode positif, dengan mencatat prestasi tertentu bersama seorang pelatih. Prestasi yang diraih bisa berupa trofi juara atau kesuksesan membawa klub ke level yang lebih baik.
Tapi, setiap periode positif pasti akan bertemu akhir, entah karena sang sosok kunci pensiun, mengundurkan diri, atau dipecat. Untuk alasan yang disebut terakhir, Tottenham Hotspur baru saja mengalaminya,. Selasa (19/11) lalu, saat mereka memutuskan berpisah dengan pelatih Mauricio Pochettino (48).
Jika bicara soal trofi, capaian sang Argentino di kota London sebenarnya tergolong nihil. Prestasi terbaik eks pelatih Espanyol ini bersama Spurs hanya menjadi finalis Piala Liga Inggris (2015), dan finalis Liga Champions musim lalu.
Tapi, dalam hal membangun standar kualitas, Pochettino sukses memanen banyak pujian. Di bawah komandonya, Spurs yang tadinya inkonsisten, sukses menjadi tim yang konsisten lolos ke Liga Champions. Secara permainan, strategi "pressing football" Pochettino juga cukup menarik dilihat.
Tak heran, ia dipandang sebagai salah satu pelatih terbaik saat ini, dan namanya kerap disebut tiap kali ada klub besar Eropa yang sedang mencari pelatih baru. Inilah yang membuat manajemen Spurs berusaha keras mempertahankannya. Hasilnya, Spurs sukses mencapai final Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Sekilas, kesuksesan Spurs lolos ke final Liga Champions musim lalu akan menjadi langkah awal Spurs melangkah ke level berikutnya. Sayang, kenyataan justru berkata lain. Alih-alih bersaing di papan atas, Spurs justru terdampar di posisi ke 14 klasemen sementara Liga Inggris. Mereka juga tersingkir dini di ajang Piala Liga, dan sempat takluk 3-7, saat menjamu Bayern Munich di Liga Champions.
Dengan level kualitas yang sudah terbangun sejak lima tahun lalu, situasi ini jelas tak bisa diterima manajemen Spurs. Apalagi, Spurs punya pemain sekelas Harry Kane, Dele Alli, Son Heung Min, dan Jan Vertonghen. Tak heran, Pochettino pun akhirnya dilepas.
Meski terlihat sangat logis, keputusan ini sebenarnya tergolong beresiko tinggi, karena Spurs harus memulai lagi dari awal, mulai dari membangun ulang kekompakan tim, membangun ulang gaya bermain tim, bahkan membongkar pasang materi pemain.
Pada kasus Spurs, bongkar pasang materi pemain mungkin baru akan bisa dilakukan di musim panas tahun depan. Satu-satunya fokus yang harus dibenahi Spurs setelah Pochettino pergi adalah memastikan situasi lebih baik sesegera mungkin. Supaya, target finis di papan atas klasemen bisa tetap tercapai.
Untuk saat ini, Jose Mourinho (Portugal) dan Massimiliano Allegri (Italia) menjadi dua nama kandidat papan atas paling masuk akal untuk didekati. Maklum, keduanya sama-sama masih berstatus tanpa klub, dan punya CV oke.
Meski begitu, kandidat lain yang lebih muda, macam Julian Nagelsmann (Pelatih RB Leipzig) dan Eddie Howe (Bournemouth) juga masih punya peluang. Tak menutup kemungkinan, Spurs ingin mencoba mengulang cerita sukses saat memboyong Pochettino lima tahun lalu.
Spurs sendiri diketahui intens mendekati Mou, segera setelah Pochettino pergi. Dengan pertimbangan, Mou punya pengalaman sukses melatih Chelsea dan Manchester United. Dengan pengalamannya, dia tentu tak akan asing dengan Liga Inggris. Mou juga bisa menjadi solusi instan buat Spurs, jika racikan strateginya masih ampuh.
Berakhirnya kebersamaan Pochettino dan Spurs, mau tak mau menjadi akhir muram sebuah era "menjanjikan", dari klub rival bebuyutan Arsenal ini. Inilah titik persimpangan antara jatuh dan bangkit lagi buat Spurs.Â
Jika mampu memilih sosok yang tepat, apa yang sudah dibangun Pochettino tinggal diteruskan, dan ditingkatkan. Jika tidak, Spurs dan fansnya harus segera bersiap melihat kembali era "roller coaster" seperti sebelum Pochettino datang.
Jadi, mau ke mana, Spurs?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H