Pada akhir pekan lalu, berlangsung duel big match, antara Liverpool vs Manchester City. Duel di Stadion Anfield ini cukup menarik perhatian, karena mempertemukan dua tim Liga Inggris, yang musim lalu juara di tingkat Eropa dan domestik. Keduanya juga dianggap sebagai kandidat kuat juara liga musim ini.
Tak heran, ada begitu banyak prediksi, dengan segala macam utak-atiknya. Duel ini makin terlihat menarik, karena mempertemukan dua tim yang kuat di lapangan, dan sama-sama diasuh pelatih jempolan. Di kubu tuan rumah, ada Juergen Klopp dengan "gegenpressing" nya, dan City diasuh Pep Guardiola yang identik dengan "tiki-taka" nya.
Pada hari H pertandingan, semua prediksi itu menjadi kenyataan. Kedua tim bermain terbuka, dan saling menyerang dengan tempo tinggi. Duel ini semakin menarik, karena turut menampilkan bumbu kontroversi, yang sebenarnya bukan kontroversi.
Kontroversi di laga ini muncul, dari sepasang klaim penalti The Citizens. Klaim ini muncul di masing-masing babak, dari dua insiden "handsball" oleh Trent Alexander-Arnold, di kotak penalti Liverpool. Kedua klaim penalti ini diabaikan wasit Michael Oliver, setelah me-review lewat VAR.
Meski terlihat kontroversial, sepasang insiden ini sebenarnya sudah diputuskan secara tepat, karena kedua insiden itu sama-sama didahului aksi "diving" Raheem Sterling di area kotak terlarang Liverpool.
Jadi, karena bola lalu dikuasai pemain Liverpool, ini adalah "advantage" buat Liverpool. Tak heran, wasit tetap memutuskan "play on". Alih-alih rugi, City sebenarnya malah beruntung, karena wasit tak menghadiahi Sterling dua kartu kuning alias kartu merah, atas dua aksi teatrikalnya ini. Seperti diketahui, hukuman untuk satu aksi "diving" di kotak penalti adalah kartu kuning.
Perbedaan interpretasi inilah, yang menjadi satu poin penentu hasil akhir pertandingan. Di saat Manchester City sibuk memprotes keras wasit, pemain Liverpool tetap fokus melanjutkan permainan, karena wasit memutuskan "play on". Akibatnya, City lengah.
Di sinilah Liverpool menghukum City, lewat gol tendangan jarak jauh Fabinho. Gol ini tercipta berkat kejelian Fabinho melihat celah terbuka di area pertahanan City. City pun terkejut, dan coba mengejar gol penyeimbang. Tapi, disiplinnya pertahanan Liverpool membuat City belum berhasil memecah telur.
Alih-alih menyamakan skor, City justru kembali kebobolan, setelah umpan silang Andy Robertson disundul masuk oleh Mohamed Salah. Gol ini tercipta dari skema serangan balik cepat, memanfaatkan celah terbuka di sisi sayap pertahanan City, yang bek-bek sayapnya ikut naik membantu serangan. Di sini, taktik menyerang Pep Guardiola kembali dihukum dengan efektivitas serangan ala Klopp.
Strategi "pressing" ketat, dipadu dengan serangan balik cepat Liverpool, sukses meredam daya dobrak City. Meski sebenarnya unggul penguasaan bola (56% berbanding 44%), dan membuat total 18 tembakan (berbanding 12 milik Liverpool), efektivitas Liverpool, dan fokus berlebihan City pada sepasang klaim penalti tersebut membuat penampilan City di Anfield terlihat kacau balau.
Ke-"ambyar"-an City di pertandingan ini semakin lengkap, karena mereka sulit (dan akhirnya gagal) keluar dari tekanan atmosfer intimidatif khas Stadion Anfield. Inilah yang akhirnya memudahkan Liverpool, untuk bisa "mengunci" kemenangan lebih awal, bahkan sebelum laga selesai.