Jika kita hanya sekilas membaca judul di atas, mungkin Anda akan merasa judul ini "lebay", karena sepak bola hanyalah sebuah olahraga, sama sekali tak sebanding dengan kehidupan (secara umum) yang sungguh kompleks. Hanya saja, sepakbola justru menjadi satu olahraga yang mampu menjadi gambaran sederhana kehidupan, khususnya dalam konteks peran.
Mengapa bisa begitu?
Bicara soal sepak bola, kebanyakan orang cenderung gemar "menempatkan" posisi di lini serang (gelandang serang dan penyerang) sebagai peran "protagonis", karena mereka selalu berusaha menyerang dan mencetak gol sebanyak-banyaknya.
Perspektif ini muncul karena "mencetak gol" dianggap sebagai bagian paling penting dan menyenangkan di olahraga satu ini.
Tak heran, banyak orang berlomba-lomba memperebutkan tempat utama di area ini, meski peluangnya relatif terbatas. Tentunya ini wajar, karena perspektif "peran protagonis" di posisi menyerang membuat pemain yang memilih posisi ini akan berada di "jalan terang".
Maklum, posisi lini serang tak pernah luput dari "spotlight". Akan ada banyak puja-puji bermunculan, jika satu gol berhasil dicetak, apalagi jika gol itu adalah gol kemenangan.
Untuk kasus ini, sosok Eder menjadi contoh menarik. Pada turnamen Euro 2016, ia hanya penyerang pelapis dalam tim yang diperkuat Cristiano Ronaldo. Tapi, ia langsung naik kelas menjadi legenda Timnas Portugal, berkat gol tunggal kemenangan yang dicetaknya ke gawang Timnas Prancis di final.
Alhasil, posisi di lini pertahanan (gelandang bertahan, bek, dan kiper) mendapat cap sebagai "peran antagonis", karena mereka lebih banyak bertugas sebagai "pencegah" terciptanya gol. Ironisnya, jika mereka bermain bagus, mereka akan lebih banyak mendapat kejengkelan (khususnya dari pihak suporter lawan atau para pemuja sepak bola menyerang).
Padahal, mereka hanya berusaha untuk main sebaik mungkin demi tim. Seperti halnya pemain menyerang, pemain bertahan juga selalu berusaha untuk main sebaik mungkin. Meskipun, segudang aksi penyelamatan, tekel bersih atau blok sukses yang mereka lakukan, bisa langsung terhapus oleh satu kesalahan yang dilakukan, sekalipun itu sama sekali tak disengaja.Â
Untuk kasus ini, kita tentu ingat pada sosok Loris Karius. Dalam perjalanan Liverpool menuju final Liga Champions musim 2017/2018, ia membuat sejumlah penyelamatan krusial plus clean-sheet. Tapi, sepasang blunder fatal yang dibuatnya di laga puncak membuatnya jadi pesakitan. Ia dianggap sebagai biang kerok kekalahan 1-3 Liverpool atas Real Madrid saat itu.
Tak heran, pemain bertahan seperti menempuh "jalan sunyi" atau bahkan "jalan pedang", mengingat pilihan yang mereka ambil ini tak populer. Tapi, berkat perspektif ini, para pemain di lini belakang biasanya adalah mereka yang benar-benar ingin bermain, tanpa peduli apa kata orang. Selama itu demi kebaikan tim, menjadi "pahlawan terlupakan" pun tak masalah.
Dari sini, kita melihat bersama, ada sebuah paradoks yang muncul, akibat perbedaan persepsi peran di sepak bola. Padahal, kedua peran ini sama penting. Pemain lini serang membutuhkan peran pemain bertahan untuk menjaga keunggulan skor yang dicetak, begitupun sebaliknya.
Di kehidupan sehari-hari, khususnya di dunia kerja, paradoks persepsi peran ini kerap kita lihat, dari pemikiran tentang pentingnya menjadi "orang di depan layar", "pemimpin", "nomor satu", atau sejenisnya. Sebaliknya, peran sebagai "orang di balik layar", "figuran", atau "nomor sekian" cenderung dihindari.
Akibatnya, muncul "keakuan" atau ego dimana-mana, terutama di era medsos ini. Bahkan, sebagian orang sampai menghalalkan segala cara, hanya untuk mencapai peran yang dianggap penting, meski kadang berakhir mengenaskan.
Sedihnya, mereka yang cenderung "menerima" atau "terbiasa" dengan peran sebagai "orang di balik layar", "figuran", atau "nomor sekian", sering dianggap "penakut", "tak punya ambisi", atau "enggan keluar dari zona nyaman". Menyakitkan.
Padahal, jika dilihat lebih jauh, mereka punya derajat setara dengan mereka yang merasa "nomor satu" atau semacamnya. Mereka bahkan layak diapresiasi, karena mau menjadi penyeimbang, dengan "mengosongkan diri" dari berbagai ambisi di luar jangkauan.
Mereka jelas tahu betul, untuk menjaga kehidupan tetap berlangsung, tak boleh ada dua atau lebih "matahari" dalam satu sistem "tata surya".
Meski terlihat tanpa ambisi, orang-orang ini justru punya pikiran lebih jernih. Mereka sebenarnya juga punya keinginan (manusiawi) untuk maju. Tapi mereka tahu kapan harus bergerak atau diam. Tak perlu menggebu-gebu, yang penting tepat.
Di satu sisi, paradoks ini terlihat menjengkelkan, tapi inilah cara kehidupan bekerja; ia lengkap dan seimbang berkat sinergi sempurna hal-hal yang serba berlawanan.
Jadi, daripada berlomba-lomba mengejar hal yang dipersepsikan sebagai "peran utama", akan lebih baik jika kita fokus sepenuhnya pada peran saat ini, sekalipun itu terlihat tak penting. Pada saatnya nanti, apa yang dikerjakan dengan baik seharusnya akan ikut membawa hal baik juga.
Bagaimanapun, tanpa ada yang rela menjadi "nomor sekian", predikat "nomor satu" tak akan ada artinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H