Tak heran, pemain bertahan seperti menempuh "jalan sunyi" atau bahkan "jalan pedang", mengingat pilihan yang mereka ambil ini tak populer. Tapi, berkat perspektif ini, para pemain di lini belakang biasanya adalah mereka yang benar-benar ingin bermain, tanpa peduli apa kata orang. Selama itu demi kebaikan tim, menjadi "pahlawan terlupakan" pun tak masalah.
Dari sini, kita melihat bersama, ada sebuah paradoks yang muncul, akibat perbedaan persepsi peran di sepak bola. Padahal, kedua peran ini sama penting. Pemain lini serang membutuhkan peran pemain bertahan untuk menjaga keunggulan skor yang dicetak, begitupun sebaliknya.
Di kehidupan sehari-hari, khususnya di dunia kerja, paradoks persepsi peran ini kerap kita lihat, dari pemikiran tentang pentingnya menjadi "orang di depan layar", "pemimpin", "nomor satu", atau sejenisnya. Sebaliknya, peran sebagai "orang di balik layar", "figuran", atau "nomor sekian" cenderung dihindari.
Akibatnya, muncul "keakuan" atau ego dimana-mana, terutama di era medsos ini. Bahkan, sebagian orang sampai menghalalkan segala cara, hanya untuk mencapai peran yang dianggap penting, meski kadang berakhir mengenaskan.
Sedihnya, mereka yang cenderung "menerima" atau "terbiasa" dengan peran sebagai "orang di balik layar", "figuran", atau "nomor sekian", sering dianggap "penakut", "tak punya ambisi", atau "enggan keluar dari zona nyaman". Menyakitkan.
Padahal, jika dilihat lebih jauh, mereka punya derajat setara dengan mereka yang merasa "nomor satu" atau semacamnya. Mereka bahkan layak diapresiasi, karena mau menjadi penyeimbang, dengan "mengosongkan diri" dari berbagai ambisi di luar jangkauan.
Mereka jelas tahu betul, untuk menjaga kehidupan tetap berlangsung, tak boleh ada dua atau lebih "matahari" dalam satu sistem "tata surya".
Meski terlihat tanpa ambisi, orang-orang ini justru punya pikiran lebih jernih. Mereka sebenarnya juga punya keinginan (manusiawi) untuk maju. Tapi mereka tahu kapan harus bergerak atau diam. Tak perlu menggebu-gebu, yang penting tepat.
Di satu sisi, paradoks ini terlihat menjengkelkan, tapi inilah cara kehidupan bekerja; ia lengkap dan seimbang berkat sinergi sempurna hal-hal yang serba berlawanan.
Jadi, daripada berlomba-lomba mengejar hal yang dipersepsikan sebagai "peran utama", akan lebih baik jika kita fokus sepenuhnya pada peran saat ini, sekalipun itu terlihat tak penting. Pada saatnya nanti, apa yang dikerjakan dengan baik seharusnya akan ikut membawa hal baik juga.
Bagaimanapun, tanpa ada yang rela menjadi "nomor sekian", predikat "nomor satu" tak akan ada artinya.