Menariknya, di periode kedua bersama Atletico inilah, Torres akhirnya mampu meraih gelar juara. Momen itu terwujud, saat Atletico meraih gelar Liga Europa musim 2017/2018, setelah menghajar Marseille (Prancis) 3-0 di final. Momen ini terasa kian manis buat Torres karena di laga ini ia ikut bermain sebagai pengganti di menit-menit akhir.
Gelar ini menjadi kado perpisahan istimewa buat Torres, karena ia lalu pindah ke Sagan Tosu (Jepang). Di Sagan Tosu, ia menjalani masa yang relatif tenang dari sorotan, meskipun dirinya menjadi salah satu ikon global liga Jepang bersama trio bintang veteran milik Vissel Kobe, yakni Andres Iniesta (Spanyol), David Villa (Spanyol), dan Lukas Podolski (Jerman), sebelum akhirnya memutuskan pensiun di usia 35 tahun, Jumat, (21/6/2019).
Jika hanya melihat statistiknya, mungkin torehan gol dan assist Torres tergolong "biasa". Tapi, kiprahnya sebagai "target man" dan penyerang murni (terutama di Liverpool dan timnas Spanyol) menjadi satu kenangan tersendiri buat pecinta sepak bola, terutama di tengah menjamurnya penyerang bertipe "false nine" seperti sekarang.
Uniknya, Torres menjadi satu sosok langka di sepak bola modern. Karena, saat dalam puncak performa bersama klub, ia gagal meraih trofi juara. Tapi, ia menjadi salah satu penyerang yang cukup awet bersinar bersama timnas Spanyol dan masih menjadi satu-satunya pemain yang sukses mencetak gol di dua edisi final Piala Eropa secara beruntun.
Terlepas dari kiprah muramnya (secara personal) di Chelsea, perjalanan Torres sebagai seorang pesepakbola tergolong komplit. Ada warna cinta dan pengkhianatan, ada gelap dan terang. Ia juga sukses meraih trofi Liga Champions dan Liga Europa bersama klub, plus trofi Piala Dunia, dan Piala Eropa bersama timnas.Â
Kini, kisah penuh warna itu telah tutup buku.
Terima kasih, Torres!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H