Jika bicara soal kiprah Fernando Torres alias El Nino (35) di level klub, ada satu hal yang mampu mendeskripsikannya secara sederhana, yakni serba naik turun dan penuh warna.Â
Saat memulai karier senior di Atletico Madrid pada tahun 2000 sebagai jebolan akademi Atleti, Torres mampu mengembangkan reputasinya sebagai seorang penyerang berkualitas sekaligus menjadi ikon klub yang dicintai suporter. Bahkan, ia mendapat julukan El Nino (Si Bocah) karena sudah menjadi kapten tim senior Atletico Madrid di usia muda.
Bakat besar Torres membuat banyak klub top Eropa mengincarnya. Liverpool yang kala itu diasuh Rafael Benitez berhasil memboyongnya ke Stadion Anfield tahun 2007.Â
Di Anfield, Torres menjelma menjadi pujaan Kopites, sekaligus menjadi salah satu "pemain nomor 9" dan "target man" terbaik di masanya. Tak heran, ia menjadi salah satu penyerang andalan Timnas Spanyol dan membentuk duet maut bersama David Villa.
Semasa berseragam Liverpool, Torres sukses meraih gelar Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010 bersama timnas Spanyol. Sayang, meski sukses secara personal dan mampu meraih gelar bersama timnas, Torres nirgelar bersama klub Merseyside ini. Ia lalu pindah ke Chelsea awal tahun 2011 dengan ongkos 50 juta pounds, sebuah rekor transfer liga Inggris ketika itu.
Transfer ini sempat membuat sebagian Kopites sakit hati dan menganggapnya pembelot. Maklum, meski tak terlalu ketat, Chelsea merupakan salah satu rival Liverpool, khususnya di liga domestik. Apalagi Liverpool saat itu sedang dalam masa transisi pergantian kepemilikan, dari duo George Gillett-Tom Hicks ke Fenway Sports Group (FSG), yang pada prosesnya cukup dramatis karena Liverpool sempat berada di bawah ancaman kebangkrutan akibat utang yang menumpuk.
Tapi, status "pemain termahal" membuat kiprah Torres di Chelsea malah berbanding terbalik dengan harganya. Akibat terbebani status pemain termahal, performa El Nino di Chelsea justru cenderung melempem. Alhasil, ia kerap jadi bahan olokan. Ketajamannya di Liverpool seolah tinggal kenangan.
Meski begitu, ia sukses meraih 1 gelar Piala FA, 1 gelar Liga Champions (keduanya musim 2011/2012), dan 1 gelar Liga Europa (2012/2013) bersama Chelsea. Praktis, di periode suramnya bersama Chelsea, satu-satunya jejak tersisa dari "kesaktian" Torres hanyalah gol-gol penting yang sesekali dicetaknya, seperti gol ke gawang Barcelona di semifinal Liga Champions musim 2011/2012.Â
Di periode ini, ia sukses meraih trofi juara Piala Eropa 2012, Sepatu Emas Piala Eropa 2012, dan Sepatu Emas Piala Konfederasi 2013 bersama timnas Spanyol.
Kiprah Torres di Chelsea berakhir tahun 2014, pada periode kedua Jose Mourinho di Stamford Bridge. Saat itu, Torres dipinjamkan ke AC Milan, sebelum dipermanenkan awal tahun 2015. Uniknya, segera setelah dipermanenkan Milan, ia pulang ke Atletico Madrid, klub cinta pertamanya, dengan Atletico membarter Alessio Cerci, pemain sayap asal Italia, ke Milan.
Sekembalinya ke Atleti, Torres menikmati peran baru sebagai pemain spesialis pengganti dan peran lamanya sebagai ikon klub dibawah arahan Diego Simeone, eks rekan setimnya dulu. Bersama Atletico, ia turut bermain di final Liga Champions musim 2015/2016, saat Atletico kalah adu penalti atas Real Madrid di Stadion San Siro (Milan).
Menariknya, di periode kedua bersama Atletico inilah, Torres akhirnya mampu meraih gelar juara. Momen itu terwujud, saat Atletico meraih gelar Liga Europa musim 2017/2018, setelah menghajar Marseille (Prancis) 3-0 di final. Momen ini terasa kian manis buat Torres karena di laga ini ia ikut bermain sebagai pengganti di menit-menit akhir.
Gelar ini menjadi kado perpisahan istimewa buat Torres, karena ia lalu pindah ke Sagan Tosu (Jepang). Di Sagan Tosu, ia menjalani masa yang relatif tenang dari sorotan, meskipun dirinya menjadi salah satu ikon global liga Jepang bersama trio bintang veteran milik Vissel Kobe, yakni Andres Iniesta (Spanyol), David Villa (Spanyol), dan Lukas Podolski (Jerman), sebelum akhirnya memutuskan pensiun di usia 35 tahun, Jumat, (21/6/2019).
Jika hanya melihat statistiknya, mungkin torehan gol dan assist Torres tergolong "biasa". Tapi, kiprahnya sebagai "target man" dan penyerang murni (terutama di Liverpool dan timnas Spanyol) menjadi satu kenangan tersendiri buat pecinta sepak bola, terutama di tengah menjamurnya penyerang bertipe "false nine" seperti sekarang.
Uniknya, Torres menjadi satu sosok langka di sepak bola modern. Karena, saat dalam puncak performa bersama klub, ia gagal meraih trofi juara. Tapi, ia menjadi salah satu penyerang yang cukup awet bersinar bersama timnas Spanyol dan masih menjadi satu-satunya pemain yang sukses mencetak gol di dua edisi final Piala Eropa secara beruntun.
Terlepas dari kiprah muramnya (secara personal) di Chelsea, perjalanan Torres sebagai seorang pesepakbola tergolong komplit. Ada warna cinta dan pengkhianatan, ada gelap dan terang. Ia juga sukses meraih trofi Liga Champions dan Liga Europa bersama klub, plus trofi Piala Dunia, dan Piala Eropa bersama timnas.Â
Kini, kisah penuh warna itu telah tutup buku.
Terima kasih, Torres!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H