Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perlunya "Diet Politik" di Tahun Politik

6 Januari 2019   15:47 Diperbarui: 8 Januari 2019   09:27 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay)

Jika Anda membaca judul di atas, sekilas, istilah "Diet Politik" tampak membingungkan. Apalagi, sekarang ini negara kita sedang memasuki tahun politik.  

Seperti diketahui, pada tahun 2019 ini akan diselenggarakan Pemilu (Pileg dan Pilpres) serentak. Otomatis, informasi soal politik akan berseliweran di sana-sini, dengan jumlah luar biasa banyak, entah di media cetak, media sosial, maupun elektronik

Informasi melimpah inilah, yang membuat "Diet Politik di Tahun Politik" terlihat mustahil untuk dilakukan. Tapi, jika melihat esensi dari Pemilu itu sendiri, yakni demokrasi, "Diet Politik di Tahun Politik" adalah satu hal yang justru harus dilakukan.

Cara paling sederhana dari "Diet Politik" ini adalah mempelajari rekam jejak tokoh yang akan dipilih, berikut plus-minusnya. Dengan melimpahnya informasi di era kekinian, "Diet Politik' bisa kita lakukan, dengan memilah sumber informasi acuan. 

Di sini, kita hanya perlu menggunakan sumber-sumber kredibel, dengan menepikan sumber abal-abal dan hyper-partisan. Jika kita bisa melakukannya dengan baik, kita tak akan termakan "hoax" dengan mudah.

Cara lainnya, kita perlu bersikap "to the point", dengan hanya mengetahui siapa saja kandidat yang akan bertanding, dan kapan jadwal debat resminya. 

Tak perlu mengikuti segala drama dan kegaduhan yang ada, karena sebenarnya itu tak penting untuk diikuti. Lagipula, apa gunanya mengorbankan hal penting (seperti waktu, pekerjaan dan relasi) hanya demi mengikuti hal tak penting?

Hal ini penting, karena Pemilu pada dasarnya adalah satu proses pendidikan politik, bukan pembodohan politik. Jelas, lewat Pemilu, masyarakat seharusnya bisa dicerdaskan, dengan dibiarkan bebas memilih secara langsung, dengan melihat fakta, bukan informasi dengan sumber "katanya".

Hal lain yang bisa kita lakukan adalah, melihat situasi dengan cermat, sebelum menentukan pilihan. Misalnya, jika ada kandidat yang melakukan "serangan fajar", kita bisa menerima pemberiannya, tapi tidak memilihnya. 

Karena, logika dasar mereka sangat buruk. Hadiah "serangan fajar" bisa habis dalam sekejap, sementara satu periode jabatan baru habis dalam waktu lima tahun. Jelas tak sebanding kan?

Kita juga bisa melakukan komparasi sederhana, dengan melihat kubu kandidat mana yang paling sering membuat kegaduhan atau berita bohong. 

Memang, ini adalah sebuah strategi politik yang lumrah dipakai. Tapi, dari sinilah kita bisa melihat, mana yang tak pantas dipilih. Karena, belum berkuasa saja sudah memakai cara tak benar, bagaimana kalau nanti benar-benar berkuasa?

Mungkin, cara "Diet Politik" yang saya sarankan ini terlalu pragmatis. Tapi, sebagai masyarakat kita juga perlu menyesuaikan diri dengan cara berpikir pragmatis sebagian politisi kita. 

Supaya, mereka bisa segera sadar, rakyat Indonesia berhadapan dengan berbagai permasalahan hidup tiap hari, yang juga harus  diperhatikan tiap hari, bukan hanya lima tahun sekali.

Memang, tak ada kandidat yang sempurna tanpa cela, karena mereka masih manusia, bukan orang suci apalagi Tuhan. Tapi, kita hanya perlu berpikir secara sadar dan waras, sebelum akhirnya menentukan pilihan.

Pastinya, setiap orang yang sadar dan waras akan memilih sosok terbaik dari pilihan yang tersedia. Kalaupun semua pilihan tokoh yang tersedia sama-sama tak layak dipilih, kita tak dilarang untuk golput, karena tak memilih pun adalah sebuah pilihan.

Selebihnya, kita hanya perlu mengabaikan hal-hal tak penting dalam kontestasi Pemilu, yang hanya melibatkan para elit politik. Karena, Pemilu pada dasarnya adalah pesta milik rakyat, dengan rakyat sebagai pelaku dan pemenang utamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun