Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, pada Selasa, (25/9) lalu, PSSI memutuskan untuk menghentikan gelaran Liga 1 hingga batas waktu yang tak ditentukan. Keputusan ini diambil PSSI sebagai hasil dari rapat Exco PSSI, menyusul tragedi meninggalnya seorang Jakmania, Haringga Sirila.Â
Ia meninggal akibat dianiaya oleh oknum Bobotoh, beberapa jam sebelum dimulainya laga Persib vs Persija akhir pekan lalu. Alhasil, keriuhan kompetisi sepak bola nasional pun berhenti sejenak.
Mungkin sebagian pihak menilai, keputusan PSSI ini cenderung reaktif dan agak berbeda dari biasanya. Tapi, ini adalah keputusan yang mampu memberikan efek kejut bagi semua pihak terkait untuk  mendinginkan suasana.
Melihat situasinya, saya bisa mengatakan, ini adalah satu dari sedikit keputusan PSSI yang mendapat respon positif dari masyarakat. Memang, meliburkan kompetisi adalah opsi paling masuk akal saat ini. Karena tragedi meninggalnya Haringga Sirila sudah terlanjur viral di media sosial, dan diberitakan di media nasional.Â
Tak ketinggalan, media luar negeri, seperti News.com.au (Australia), dan Globoesporte (Brasil) juga memberitakan kejadian ini. Memang, ada banyak kejadian serupa sebelum ini.Â
Tapi, viralnya kasus kematian Haringga Sirila, mau tak mau membuat PSSI harus segera bertindak. Apalagi, kasus ini sudah disorot media luar negeri, alias sudah "go international".Â
Sebagai sebuah bangsa, kita biasanya akan langsung merasa begitu bangga kalau ada satu prestasi yang "go international". Tapi, meski "go international", kasus kematian Haringga Sirila ini jelas menunjukkan sisi kelam persepakbolaan nasional.Â
Jadi, apa yang bisa dibanggakan dari hal memalukan seperti ini?
Dari sinilah, kita seharusnya bersyukur karena di tengah situasi seperti sekarang, ada waktu untuk kita semua berhenti sejenak. Ini juga untuk menata ulang cara berpikir kita tentang bagaimana cara berkompetisi yang baik dan benar, demi kebaikan bersama.
Tentunya, ada pro kontra soal langkah PSSI kali ini. Sebagian mungkin melihat ini solusi yang kurang bertanggung jawab dari PSSI. Tapi, jika sepak bola (yang katanya penuh sukacita) masih saja meminta korban jiwa, buat apa dilanjutkan?Â
Lagipula, sepak bola pada dasarnya adalah olahraga, bukan permainan hidup-mati. Jadi, jika hakikat dasar ini sudah diabaikan, maka sepak bola tak layak untuk dilanjutkan sebagai olahraga. Karena di sini sepak bola tak lagi layak dipandang, sebagai sebuah olahraga.
Meski menjengkelkan, jeda kompetisi Liga 1 kali ini seharusnya bisa menjadi kesempatan baik bagi seluruh stakeholder sepak bola nasional, untuk saling mengintrospeksi diri.Â
Untuk saat ini, kita jangan dulu bicara, soal harapan kepada Tim Garuda untuk membuat prestasi tinggi. Tapi, kita harus memulainya lebih dulu dari membangun kesadaran antar suporter supaya mereka bisa rukun.
Bagaimanapun, masalah anarkisme suporter untuk saat ini adalah masalah kronis yang harus segera diatasi. Jika masalah ini sudah beres sepenuhnya, barulah kita layak untuk bicara soal bagaimana membuat Timnas yang mampu berprestasi tinggi.
Menariknya, "jeda darurat" kompetisi Liga 1 ini membuktikan, selalu ada sisi positif di balik berhentinya sebuah rutinitas. Karena pada saat berhenti inilah kita bisa bersatu dan berpikir jernih, tanpa memikirkan perbedaan yang ada. Dengan harapan, setelah semuanya kembali dimulai seperti biasa, situasi sudah lebih baik.
Semoga dengan berhentinya kompetisi Liga 1 ini, dapat tercipta kesadaran di antara kelompok suporter fanatik di Indonesia, untuk dapat mulai bersikap dewasa. Bagaimanapun menang atau kalah dalam sepak bola, harganya selalu tidak sebanding dengan hilangnya sebuah nyawa akibat ulah oknum suporter anarkis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H