Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Saya Menikmati Kegaduhan Politik di Media Sosial

28 Agustus 2018   17:40 Diperbarui: 28 Agustus 2018   17:43 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pembuka, izinkan saya sedikit bercerita. Well, awalnya, saya tidak ingin menulis artikel bertopik politik, karena suhu politik di negeri ini sedang meningkat. Saya lebih memilih untuk menulis artikel olahraga, khususnya sepak bola, yang memang bisa diterima oleh semua kalangan, apapun latar belakang dan pandangan politik mereka.

Selain itu,  saya juga dinasehati oleh Prof Pebrianov, salah satu Kompasianer senior, untuk sebisa mungkin menghindari menulis topik satu ini, karena Kompasiana punya segudang jagoan di topik politik. Akan sangat berat buat saya, anak ingusan yang hanya belajar menulis secara otodidak, jika nekat masuk ke kanal politik, kanal yang dikenal cukup panas di Kompasiana, walau politik sendiri sebenarnya adalah "hot topic",  layaknya oseng mercon lengkap dengan segala bumbunya, termasuk rasa pedas yang selalu bisa menggugah selera.

Saya sendiri, sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan dunia "main catur" ini. Dalam artian saya hanya sebatas mengikuti berita valid yang ada, tanpa mengikuti analisis dan spekulasi yang bermunculan, karena, dari analisis dan spekulasi ini, sering muncul perdebatan tak perlu di ruang publik, terutama di media sosial.

Bagi saya, sebatas tahu saja sudah cukup. Saya hanya perlu melihat dan membandingkan realita yang ada, sebelum akhirnya menentukan pilihan dengan bebas.

Tapi, kegaduhan politik di media sosial belakangan ini, terutama soal persaingan menuju Pilpres 2019, akhirnya sukses membuat jari saya gatal untuk membuat tulisan ini. Well, saya biasa memakai media sosial, untuk berinteraksi dengan teman atau saudara, melihat berita (dari situs terpercaya), berbagi  tulisan, atau sebatas lucu-lucuan.

Sayangnya, kenyamanan ini sedikit demi sedikit mulai terkikis, karena kegaduhan politik, yang makin lama makin absurd buat saya. Berita-berita hoax bergaya bahasa provokatif, meme (baik sarkas maupun tidak), perdebatan-perdebatan politik plus celotehan khas warganet kita, membuat medsos semakin sumpek. Belum lagi, kalau "buzzer" sudah beraksi, rasanya benar-benar menjengkelkan.

Tapi, berkat kegemaran saya menonton acara komedi, saya justru melihat, kegaduhan politik ini adalah satu pertunjukan komedi versi nyata, dengan warganet dan para politisi sebagai bintang utamanya.

Disadari atau tidak, perdebatan politik di negeri kita belakangan ini, sebenarnya hanya menciptakan polarisasi di masyarakat. Mereka saling ngotot membela jagoan masing-masing, mulai dari berperang tagar di internet, adu pamer kaos bertagar, sampai berdebat kusir, yang sebenarnya tak berguna. Karena mereka yang sedang berkompetisi tak pernah berdebat kusir seperti ini.

Fenomena ini menjadi sebuah realita miris, bahwa berdemokrasi masih sebatas dilihat dari apa yang ditampilkan di luar, lewat pendapat atau pandangan politik, dengan bumbu fanatisme berlebihan. Padahal, mereka yang tampak bersikap diam dari luar, sebenarnya belum tentu apatis. Bisa jadi, mereka hanya muak dengan kegaduhan yang ada.

Jadi, siapapun yang men-cap "apatis" pada mereka yang tampak bersikap diam, mereka justru sedang mempermalukan diri sendiri. Karena, sikap over-aktif mereka, adalah satu hal yang sangat diharapkan mesin politik, untuk membentuk opini publik lewat barisan "pendukung fanatik", sambil mempromosikan figur jagoan mereka, dengan sesekali memaksakan pilihannya, tanpa ada kesempatan memilah secara bijak. Ini jelas bukan praktek demokrasi yang sehat, karena tak ada kebebasan dalam memilih secara objektif.

Sikap seperti ini, adalah satu potret buram  demokrasi kita. Saya tak bilang demokrasi kita buruk, tapi ada kalanya kita perlu bersikap diam dalam berdemokrasi. Sebagai manusia, kita juga  tak mungkin bicara tanpa henti,  ada saatnya tidur, ada saatnya berpikir, ada saatnya makan. Tak selamanya sikap diam itu buruk. Toh, pepatah mengatakan, "diam itu emas, berbicara itu perak".

Perbedaan memang dinamika dalam berdemokrasi, tapi, apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini justru menunjukkan, betapa absurdnya kehidupan berdemokrasi kita. Karena, kontestasi politik, yang seharusnya menjadi ajang adu program, adu gagasan, demi kemajuan bangsa, justru menjadi ajang adu domba. Perbedaan yang sejatinya mampu menciptakan keseimbangan, justru mampu memecah persatuan.  Politik yang seharusnya bisa mencerdaskan masyarakat, justru menjadi sumber pembodohan.

Gilanya, hal-hal sensitif seperti agama juga ikut 'dimainkan' di sini. Padahal, politik dan agama (sebetulnya) adalah dua alam berbeda. Politisasi agama ini, menjadi satu strategi ala Machiavelian, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, dalam hal ini tujuan untuk berkuasa. Tentu saja, ini mengingkari hakikat keberadaan agama, yang pada dasarnya bertujuan untuk "mendekatkan manusia kepada Tuhan (Sang Pencipta, hubungan vertikal), dan memanusiakan manusia, dalam hubungannya dengan sesama manusia (hubungan horizontal)".

Di sini, politisasi agama jelas melanggar tujuan itu. Karena, politisasi agama justru men-Tuhan-kan manusia (yang ingin berkuasa) diantara sesamanya. Sedangkan, Tuhan hanya dijadikan sebagai tameng pembenaran, atas apapun yang mereka lakukan. Padahal, Tuhan jelas bukan kaca anti-peluru atau senjata pencegat rudal. Disinilah saya mau tak mau harus melepas tawa, karena ternyata masih ada orang yang berani menaruh Tuhan di posisi seperti itu.

Praktis, satu-satunya hal yang bisa saya maklumi adalah, demokrasi kita masih sedang dalam masa "pencarian jati diri" sejak tahun 1998, setelah sebelumnya lama dikuasai pemerintahan otoriter. Tentu saja, perlu waktu lebih lama, untuk membentuk kedewasaan berdemokrasi di negeri ini. Jadi, apa yang kita lihat saat ini, adalah bagian dari proses pendewasaan itu.

Bagi saya, kegaduhan politik belakangan ini, adalah satu "hadiah" dari Tuhan, agar saya bisa melihat satu situasi dari sisi positifnya. Tak bisa dipungkiri, kegaduhan ini adalah satu kekonyolan. Tapi, rentetan kekonyolan ini sangat membantu saya, untuk memilah, sebelum akhirnya memilih  figur yang harus saya pilih dengan bijak pada saatnya nanti. Bagaimanapun, memilih dengan bebas tanpa paksaan, adalah salah satu hak dasar setiap warga negara Indonesia, termasuk Anda dan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun