Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Saya Menikmati Kegaduhan Politik di Media Sosial

28 Agustus 2018   17:40 Diperbarui: 28 Agustus 2018   17:43 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan memang dinamika dalam berdemokrasi, tapi, apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini justru menunjukkan, betapa absurdnya kehidupan berdemokrasi kita. Karena, kontestasi politik, yang seharusnya menjadi ajang adu program, adu gagasan, demi kemajuan bangsa, justru menjadi ajang adu domba. Perbedaan yang sejatinya mampu menciptakan keseimbangan, justru mampu memecah persatuan.  Politik yang seharusnya bisa mencerdaskan masyarakat, justru menjadi sumber pembodohan.

Gilanya, hal-hal sensitif seperti agama juga ikut 'dimainkan' di sini. Padahal, politik dan agama (sebetulnya) adalah dua alam berbeda. Politisasi agama ini, menjadi satu strategi ala Machiavelian, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, dalam hal ini tujuan untuk berkuasa. Tentu saja, ini mengingkari hakikat keberadaan agama, yang pada dasarnya bertujuan untuk "mendekatkan manusia kepada Tuhan (Sang Pencipta, hubungan vertikal), dan memanusiakan manusia, dalam hubungannya dengan sesama manusia (hubungan horizontal)".

Di sini, politisasi agama jelas melanggar tujuan itu. Karena, politisasi agama justru men-Tuhan-kan manusia (yang ingin berkuasa) diantara sesamanya. Sedangkan, Tuhan hanya dijadikan sebagai tameng pembenaran, atas apapun yang mereka lakukan. Padahal, Tuhan jelas bukan kaca anti-peluru atau senjata pencegat rudal. Disinilah saya mau tak mau harus melepas tawa, karena ternyata masih ada orang yang berani menaruh Tuhan di posisi seperti itu.

Praktis, satu-satunya hal yang bisa saya maklumi adalah, demokrasi kita masih sedang dalam masa "pencarian jati diri" sejak tahun 1998, setelah sebelumnya lama dikuasai pemerintahan otoriter. Tentu saja, perlu waktu lebih lama, untuk membentuk kedewasaan berdemokrasi di negeri ini. Jadi, apa yang kita lihat saat ini, adalah bagian dari proses pendewasaan itu.

Bagi saya, kegaduhan politik belakangan ini, adalah satu "hadiah" dari Tuhan, agar saya bisa melihat satu situasi dari sisi positifnya. Tak bisa dipungkiri, kegaduhan ini adalah satu kekonyolan. Tapi, rentetan kekonyolan ini sangat membantu saya, untuk memilah, sebelum akhirnya memilih  figur yang harus saya pilih dengan bijak pada saatnya nanti. Bagaimanapun, memilih dengan bebas tanpa paksaan, adalah salah satu hak dasar setiap warga negara Indonesia, termasuk Anda dan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun