Jika bicara soal Zinedine "Zizou" Zidane (46), tentu tak bisa lepas dari kata sukses, jenius, atau legendaris. Memang, selama karir bermainnya, pria Prancis keturunan Aljazair ini sukses meraih banyak trofi, baik di klub (terutama di Juventus dan Real Madrid), maupun di timnas Prancis. Tak hanya sekadar sukses meraih trofi, Zizou juga sukses menjadikan dirinya sebagai salah satu pemain berposisi "nomor 10" terbaik sepanjang masa. Karena, dengan kejeniusannya, ia sukses menginspirasi timnas Prancis menjadi juara Piala Dunia 1998, dan Piala Eropa 2000. Di level klub, ia menjadi bintang besar di Juventus, dan meraih satu gelar Liga Champions (musim 2001/2002) bersama Real Madrid.
Meski karir bermainnya berakhir kurang mengenakkan, karena harus menerima kartu merah, akibat menyundul dada Marco Materazzi, dan kalah dari timnas Italia di final Piala Dunia 2006 bersama timnas Prancis, status "pemain legendaris" nya tetap tak terbantahkan. Bahkan, Zizou sukses melampaui capaian karir Enzo Fransescoli, playmaker legendaris timnas Uruguay era 1980-1990an yang jadi idolanya semasa muda. Nama depan Fransescoli, lalu dijadikan sebagai nama depan anak pertama Zizou.
Saat beralih peran menjadi pelatih pun, Zizou mampu meraih sukses bersama Real Madrid. Terkini, ia mampu mengantar Si Putih ke final Liga Champions musim 2017/2018. Pada musim 2016/2017, ia sukses mengantar Real Madrid 'mengawinkan' gelar La Liga dan Liga Champions, setelah di musim sebelumnya menjuarai Liga Champions. Capaian ini membuktikan, seberapa hebat kemampuan Zizou, baik dalam hal meramu taktik ampuh di lapangan, maupun mengendalikan ego pemain bintang. Seperti diketahui, El Real adalah tim bertabur bintang kelas dunia, yang egonya tak mudah ditangani pelatih biasa.
Selain mampu menjadi pemain, dan pelatih yang hebat, Zidane juga mampu menjadi sosok ayah yang bijak. Sikap bijak Zidane terlihat, saat ia melepas Enzo Zidane, anak sulungnya, yang berposisi sebagai gelandang serang, ke Deportivo Alaves, klub finalis Copa del Rey musim 2016/2017, dan bermain di kasta teratas La Liga Spanyol. Enzo Zidane resmi pindah ke Alaves, dengan harga transfer yang dirahasiakan, disertai klausul pembelian kembali (buy-back clause), jika performanya bagus. Di Alaves, Enzo diikat kontrak selama 3 tahun, per 1 Juli 2017.
Jika menilik posisi Zidane sebagai pelatih El Real, dan juga ayah Enzo, sebetulnya ia bisa saja mengistimewakan Enzo, dengan memberinya garansi selalu tampil, di tim utama Los Blancos. Di sini, ia jelas memiliki otoritas penuh untuk melakukan itu. Tapi, demi kebaikan tim, dan Enzo sendiri, Zidane memilih tak melakukannya.
Sebagai contoh, meski Zizou pernah memasukkan Enzo ke dalam daftar pemain El Real di laga final Liga Champions musim 2016/2017 (Vs Juventus), Zizou tak memainkan Enzo semenitpun di partai ini. Di Real Madrid, Enzo sendiri lebih banyak bermain di tim B Real Madrid, dengan sesekali tampil di ajang Copa del Rey bersama tim senior.
Sekilas, dilepasnya Enzo ke Alaves, adalah sebuah langkah mundur bagi karir sepak bola Enzo. Tapi, sebetulnya ini adalah keputusan bijak. Di usianya yang masih muda, kemampuan Enzo masih bisa berkembang lebih jauh. Dengan catatan, ia mendapat menit bermain yang cukup di kompetisi level atas. Ini jelas tak akan didapat, jika ia masih tetap bertahan di Santiago Bernabeu. Karena, Real Madrid mempunyai setumpuk gelandang serang kelas dunia. Sehingga, ia harus rela pergi, supaya kemampuannya dapat terus berkembang.
Dilepasnya Enzo ke Alaves, merupakan pendekatan yang sangat mendidik dari Zizou sebagai ayah dan pelatih, yang semasa bermain dulu pernah menjadi pesepakbola sukses, di posisi bermain yang sama seperti Enzo.
Secara teknis, kepindahan ini diharapkan dapat memberi cukup ruang bagi Enzo, untuk dapat berkembang sebagai pesepakbola, dan diri sendiri, tanpa berada di bawah bayang-bayang nama besar sang ayah. Secara pribadi, ini akan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Enzo. Jika ia mampu berkembang dengan baik, maka ia bisa segera pulang ke Real Madrid, yang pastinya tak akan malu-malu mengaktifkan klausul buy-back clause, yang terselip dalam perjanjian transfernya ke Alaves.
Sayang, alih-alih bersinar, Enzo justru menjadi surplus di Alaves. Bersama Los Babazorros, Enzo hanya mampu mencatat total empat penampilan di semua kompetisi, tanpa mampu mencetak satupun gol maupun assist. Parahnya, dari semua penampilan itu, Enzo hanya mampu sekali tampil selama 90 menit penuh.
Giovanni De Blasi (pelatih Alaves) kerap menepikan Enzo, karena meski dinilai punya potensi cukup besar, Enzo dinilai kurang mau berusaha keras. Kiprah Enzo di Alaves berakhir dini, setelah ia memutus kontraknya di Alaves, dan pindah ke FC Lausanne (Swiss) secara gratis, bulan Januari 2018 silam, dengan ikatan kontrak hingga Juni 2020.
Di FC Lausanne, Enzo memang mendapat jatah tampil  cukup banyak, yakni 16 kali, dengan mencetak 2 gol. Tapi, peningkatan performa Enzo ini tak banyak membantu klubnya. Karena, klub milik Eneos (perusahaan produsen oli asal Jepang) ini terdegradasi ke kasta kedua Liga Swiss di akhir musim 2017/2018. Sebuah kemunduran karir yang cukup drastis.
Di usianya yang kini sudah menginjak 23 tahun, dengan situasi saat ini, sulit untuk mengharapkan Enzo bisa mencapai level seperti sang ayah. Ini jelas sebuah ironi, mengingat saat masih di level tim junior dulu, Enzo sempat membela timnas U-15 Spanyol dan timnas U-19 Prancis. Tak hanya itu, statusnya sebagai "anak sulung Zinedine Zidane" sempat membuatnya menjadi rebutan Spanyol dan Prancis, karena ia dinilai punya bakat seperti sang ayah. Tapi, cerita itu kini tinggal kenangan.
Malah, ia kalah dengan sang adik, Luca (20), yang baru saja mencatat debut di tim senior Real Madrid, saat El Real bermain imbang 2-2 versus Villareal di pekan terakhir Liga Spanyol, Minggu, (20/5). Di laga ini, Luca Zidane bermain penuh selama 90 menit. Hanya saja, berbeda dengan Enzo, Luca berposisi sebagai kiper.
Praktis, Enzo kini terancam mengikuti jejak Christian Maldini (putra Paolo Maldini, legenda Italia), Edinho (putra Pele, legenda Brasil), Rivaldinho (putra Rivaldo, legenda Brasil), dan Jordi Cruyff (putra Johan Cruyff), sebagai putra pesepakbola legendaris, yang gagal meniru, atau hanya sebatas mendekati prestasi hebat sang ayah di masa lalu.
Apa yang dialami Enzo Zidane sekali lagi membuktikan, menjadi anak pesepakbola legendaris bukan jaminan sukses, meski status ini tampak istimewa. Malah, status istimewa ini adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi, jika ia ingin sukses. Jika mampu, prestasi sang ayah dapat disamai, atau bahkan dilampaui, seperti pada kasus Cesare dan Paolo Maldini (legenda AC Milan dan timnas Italia), atau Arnor dan Eidur Gudjohnsen (Islandia). Jika tidak, ia akan gagal, dan terus berada di bawah bayangan nama besar sang ayah. Di sini, sepak bola kembali merefleksikan, tak ada manusia di dunia ini yang bergaris nasib sama persis, sekalipun mereka adalah ayah dan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H