Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Refleksi Paskah

1 April 2018   07:30 Diperbarui: 1 April 2018   09:15 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal Paskah, kita semua sepakat, ini adalah hari besar, bagi umat Kristiani selain Natal. Dengan statusnya sebagai hari besar keagamaan, tiap tahunnya, Paskah selalu berhasil menarik mereka, yang biasanya sering bolos ke gereja, untuk datang.

Bahkan, mereka mendadak sangat rajin ke gereja. Semua rangkaian ibadah Paskah (Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Minggu Paskah) dilahap habis tanpa ada yang terlewat. Tak heran, tiap tahunnya, gedung gereja sering tampak kelebihan kapasitas, seperti halnya saat Natal tiba.

Padahal, biasanya tak pernah begitu. Di kalangan gereja sendiri, fenomena ini biasa disebut sebagai "fenomena munculnya kapal selam". Istilah "kapal selam" ini biasa digunakan, untuk menyebut mereka yang hanya datang ke gereja saat Natal dan Paskah.

Saya sendiri, semasa kecil dulu menganggap Paskah sebagai periode yang spesial; libur long weekend, ada pentas seni teatrikal di gereja, bermain mencari telur, dan segala hal menarik lainnya. Ke gereja pun terasa berbeda, karena kali ini saya beribadah ke gereja lebih sering dari biasanya (biasanya hanya sekali sepekan), dan gereja dijaga ketat aparat keamanan seperti saat Natal.

Karenanya, kadang saya menganggap Paskah adalah hari "Natal kedua". Seiring berjalannya waktu, kadang saya tertawa geli jika mengingat ini. Karena, meski sama-sama momen peringatan karya kasih Yesus di dunia,  Natal dan Paskah adalah dua momen yang sama sekali berbeda.

Hal yang kurang saya suka saat Paskah hanyalah, berangkat dari rumah maksimal satu jam lebih awal dari biasanya, agar kebagian tempat duduk di gereja. Selain itu, baju yang dipakai harus selalu lebih bagus dari biasanya. Pendek kata, Paskah selalu bisa mengundang rasa takjub, dan rasa jengkel secara bersamaan. Karena, kali ini harus berangkat sangat awal, dan diharuskan berpenampilan lain dari biasanya.

Tapi, seiring berjalannya waktu, pelan-pelan muncul beberapa pertanyaan di pikiran saya. Pertama, mengapa rangkaian ibadah Paskah selalu penuh sesak (bahkan membeludak), kemana saja mereka selama ini? Kedua, mengapa Paskah seolah jadi ajang "pamer" rutin (seperti saat Natal)? Ketiga, apakah Paskah itu (memang menjadi) sebuah paradoks rutin tahunan (seperti halnya Natal)?

Oke, izinkan saya menjelaskan. Untuk pertanyaan pertama, keheranan utama saya, muncul pada jumlah jemaat, yang jumlahnya sampai beberapa kali lipat lebih banyak, dari ibadah mingguan rutin. Bahkan, supaya tak kehabisan kursi, orang rela datang lebih awal. Padahal, urutan liturginya tak jauh beda dengan minggu biasa.

Inti kegiatannya sama; doa, menyanyikan lagu pujian keagamaan, pemberkatan, dan khotbah, yang selalu bicara soal kasih dan kebaikan Tuhan kepada manusia. Satu-satunya pembeda adalah, ini pekan Paskah. Tak lebih tak kurang.

Ternyata, salah satu faktor penyebabnya adalah, Paskah (seperti halnya Natal) saat ini dianggap sebagai panggung "pamer" ideal. Banyak orang yang datang ke gereja saat pekan Paskah, dengan memakai kendaraan, dan pakaian lebih mewah dari biasanya. Ada yang dandanannya begitu menor sampai sulit dikenali orang.

Ada juga, yang gayanya tampak sangat religius di gereja, mulai dari gestur tubuh, sampai unggahan status di media sosialnya. Saking 'religius'nya, mereka sampai bisa menangis begitu histeris tanpa malu-malu, saat drama teatrikal kisah penyaliban Yesus berlangsung. Padahal, di hari lain, semua tampak serba biasa, sekenanya, seadanya, layaknya tubuh tanpa jiwa.

Oke, mereka bisa (dan boleh) beralibi, "Ini hari spesial, hari kematian dan kebangkitan Yesus Sang Juruselamat. Jadi, kita harus menghormatinya, dengan (minimal) berpenampilan dan bersikap istimewa.". Secara estetis, alasan ini bisa diterima. Tapi, sebetulnya, sikap ini justru mengingkari salah satu makna utama Paskah, yakni penderitaan dan keteladanan Yesus dalam kesederhanaan, bukan ingar bingar.

Meskipun, di Minggu Palma, Dia memang memasuki Yerusalem dengan sambutan meriah layaknya seorang raja. Tapi, Minggu Palma hanya satu bagian awal, dari rangkaian karya kasih Yesus (yang justru penuh penderitaan) saat periode Paskah.

Karena, secara keseluruhan, Paskah selalu bercerita, tentang kedatangan Yesus ke Yerusalem, penderitaan, kematian dan kebangkitanNya. Dia datang sebagai Anak Allah (dan diriNya sendiri) ke Yerusalem, tapi malah ditangkap, dan diadili secara tak adil, lalu disiksa sampai mati di kayu salib, sebelum akhirnya bangkit di hari Paskah pada jam subuh hari, dengan hanya disaksikan segelintir orang muridNya, yang saat itu hendak menengok kuburNya.

Lewat Paskah, seperti halnya saat Natal, Yesus justru menegaskan bagaimana jalan hidupNya; meski Dia Anak Allah, Dia mau mengosongkan (merendahkan) diriNya sedemikian rupa, demi menjalankan kehendak Allah. Di sini, Yesus benar-benar mau (dan mampu) mengenyahkan keakuan diriNya.

Ironisnya, keakuan diri, justru kerap menjadi unsur menonjol di kalangan jemaat gereja masa kini, tiap kali masa Paskah (dan Natal) tiba. Ini bisa dilihat jelas, dari penampilan dan sikap mereka di gereja.

Dari fenomena-fenomena 'musiman' di atas, periode Paskah justru tampak menjadi sebuah panggung paradoks tahunan berikutnya setelah Natal. Paskah, yang sejatinya penuh ketenangan (dan suasana prihatin), justru tampak penuh ingar bingar layaknya pesta. 

Paskah, yang sejatinya penuh kesederhanaan, malah jadi ajang pamer kekayaan. Paskah, yang sejatinya apa adanya, malah jadi ajang pencitraan penuh kepalsuan.

Uniknya, paradoks ini menampilkan secara nyata, siapa saja yang ingin beribadah, karena memang ingin bersekutu dengan saudara seiman, dan bersyukur kepada Tuhan, serta siapa saja yang ingin beribadah, hanya demi mendapat pujian, dan memuaskan ego pribadinya.

Lewat fenomena ini, Tuhan justru menggambarkan secara lugas, layaknya "meme" di media sosial, tentang bagaimana gambaran respon umat Kristiani secara umum, saat memperingati karya kasihNya di dunia. Meski terlihat satir (dan sarkas), inilah kenyataan yang memang rutin terjadi.

Saya sendiri, sebetulnya tak terlalu mempermasalahkan, soal 'rebutan kursi' itu. Karena, postur tubuh saya kecil, tak makan banyak tempat. Soal penampilan, gaya standar formal sederhana sudah cukup, yang penting saya tetap bisa jadi diri saya sendiri. Karena, Tuhan selalu jadi diriNya sendiri.

Berhubung kondisi fisik saya bermasalah, dengan suasana gereja, yang jelas akan penuh sesak, pada Paskah kali ini saya harus mengakalinya, dengan datang ke ibadah Minggu Paskah di jam subuh.

Bagi sebagian orang, jam ibadah Paskah ini tergolong "kurang disukai" dan "tak biasa", karena terlalu pagi dibanding biasanya. Tapi, ini seharusnya bukan masalah, bagi mereka yang memang serius ingin datang beribadah.

Menariknya, meski saya memilih cara tak biasa di hari Paskah kali ini, saya bersyukur. Karena, saya justru mendapat ilham perenungan, dan dapat menuangkannya, ke dalam tulisan ini.

Dari sini, saya menemukan satu hal: Paskah (dengan segala rangkaiannya) hanya sebuah pengingat lainnya, dari betapa besar kasih Tuhan kepada manusia. Lewat Paskah, kita justru diajak untuk mengingat; Tuhan selalu mengasihi manusia apa adanya setiap saat, bukan hanya pada saat Natal atau Paskah datang.

Selamat Paskah.
Salam sejahtera bagi kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun