Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Refleksi Paskah

1 April 2018   07:30 Diperbarui: 1 April 2018   09:15 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oke, mereka bisa (dan boleh) beralibi, "Ini hari spesial, hari kematian dan kebangkitan Yesus Sang Juruselamat. Jadi, kita harus menghormatinya, dengan (minimal) berpenampilan dan bersikap istimewa.". Secara estetis, alasan ini bisa diterima. Tapi, sebetulnya, sikap ini justru mengingkari salah satu makna utama Paskah, yakni penderitaan dan keteladanan Yesus dalam kesederhanaan, bukan ingar bingar.

Meskipun, di Minggu Palma, Dia memang memasuki Yerusalem dengan sambutan meriah layaknya seorang raja. Tapi, Minggu Palma hanya satu bagian awal, dari rangkaian karya kasih Yesus (yang justru penuh penderitaan) saat periode Paskah.

Karena, secara keseluruhan, Paskah selalu bercerita, tentang kedatangan Yesus ke Yerusalem, penderitaan, kematian dan kebangkitanNya. Dia datang sebagai Anak Allah (dan diriNya sendiri) ke Yerusalem, tapi malah ditangkap, dan diadili secara tak adil, lalu disiksa sampai mati di kayu salib, sebelum akhirnya bangkit di hari Paskah pada jam subuh hari, dengan hanya disaksikan segelintir orang muridNya, yang saat itu hendak menengok kuburNya.

Lewat Paskah, seperti halnya saat Natal, Yesus justru menegaskan bagaimana jalan hidupNya; meski Dia Anak Allah, Dia mau mengosongkan (merendahkan) diriNya sedemikian rupa, demi menjalankan kehendak Allah. Di sini, Yesus benar-benar mau (dan mampu) mengenyahkan keakuan diriNya.

Ironisnya, keakuan diri, justru kerap menjadi unsur menonjol di kalangan jemaat gereja masa kini, tiap kali masa Paskah (dan Natal) tiba. Ini bisa dilihat jelas, dari penampilan dan sikap mereka di gereja.

Dari fenomena-fenomena 'musiman' di atas, periode Paskah justru tampak menjadi sebuah panggung paradoks tahunan berikutnya setelah Natal. Paskah, yang sejatinya penuh ketenangan (dan suasana prihatin), justru tampak penuh ingar bingar layaknya pesta. 

Paskah, yang sejatinya penuh kesederhanaan, malah jadi ajang pamer kekayaan. Paskah, yang sejatinya apa adanya, malah jadi ajang pencitraan penuh kepalsuan.

Uniknya, paradoks ini menampilkan secara nyata, siapa saja yang ingin beribadah, karena memang ingin bersekutu dengan saudara seiman, dan bersyukur kepada Tuhan, serta siapa saja yang ingin beribadah, hanya demi mendapat pujian, dan memuaskan ego pribadinya.

Lewat fenomena ini, Tuhan justru menggambarkan secara lugas, layaknya "meme" di media sosial, tentang bagaimana gambaran respon umat Kristiani secara umum, saat memperingati karya kasihNya di dunia. Meski terlihat satir (dan sarkas), inilah kenyataan yang memang rutin terjadi.

Saya sendiri, sebetulnya tak terlalu mempermasalahkan, soal 'rebutan kursi' itu. Karena, postur tubuh saya kecil, tak makan banyak tempat. Soal penampilan, gaya standar formal sederhana sudah cukup, yang penting saya tetap bisa jadi diri saya sendiri. Karena, Tuhan selalu jadi diriNya sendiri.

Berhubung kondisi fisik saya bermasalah, dengan suasana gereja, yang jelas akan penuh sesak, pada Paskah kali ini saya harus mengakalinya, dengan datang ke ibadah Minggu Paskah di jam subuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun