Uniknya, di Amerika Selatan, sepak bola juga dapat dijadikan kendaraan politik pemerintahan di suatu negara, untuk membangun citra positif di mata dunia. Contoh kasus politisasi sepak bola yang terkenal, terjadi pada Piala 1978 di Argentina. Politisasi sepak bola pada Piala Dunia 1978, dilakukan pemerintah Junta Militer Argentina, yang dipimpin oleh Jenderal Jorge Rafael Videla.
Kala itu, Piala Dunia 1978 dijadikan pemerintahan Junta Militer Argentina sebagai ajang pencitraan, untuk mengalihkan sorotan negatif dunia atas pemerintahan otoriter, dan pelanggaran HAM yang diduga telah mereka lakukan.
Hubungan unik Amerika Selatan dan sepak bola, membuat keduanya mempunyai kaitan begitu erat, dan berbanding lurus dengan prestasi yang didapat, yakni 9 gelar Piala Dunia (Brasil 5 kali juara dunia, Argentina dan Uruguay masing-masing 2 kali juara dunia). Bahkan, hubungan itu tak hanya sebatas di lapangan hijau, sebuah penghayatan yang mengagumkan.
Inilah yang membuat sepak bola Amerika Selatan lebih unggul, dibanding benua Asia dan Afrika, sesama wilayah "Dunia Ketiga". Soal animo suporter, sepak bola benua Asia memang tak kalah hidup dengan Amerika Selatan. Tapi, kualitas pemainnya masih belum sebanding. Sementara itu, meski seimbang dalam hal animo suporter, fisik dan teknik, kualitas sepak bola benua Afrika masih kalah dalam hal taktik dibanding Amerika Selatan.
Menariknya, perbedaan kualitas persepakbolaan antarbenua ini, seolah membuktikan kebenaran dari salah satu quote terkenal Buddha Gautama: "yang mengetahui kalah oleh yang menyukai, tapi, yang menyukai kalah oleh yang menghayati".
Memang, sepak bola itu sungguh unik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H