Menurut saya, 'fakta' ini terlalu bodoh, tak berdasar. Karena, pelaku usaha startup ini adalah pebisnis, seperti halnya investor. Mereka sama-sama mencari untung. Jelas, mereka punya perhitungan matang, dan sudah mempelajari situasi yang ada, berikut kalkulasi untung/ruginya, dengan menggunakan ilmu, yang dalam dunia manajemen bisnis, lazim disebut "Business Feasibility Study" (Studi Kelayakan Bisnis). Jadi, jika menurut kalkulasi mereka, bisnis ini tak layak investasi, mereka takkan berinvestasi.
Dalam bisnis, rugi di tahun-tahun awal beroperasi itu wajar. Apalagi, pada bisnis berbasis teknologi seperti ini. Pada startup transportasi online, modal utama mereka adalah jaringan database. Semakin luas jangkauan wilayahnya, semakin mahal biayanya. Seperti kita ketahui, Indonesia punya total luas daratan 1,9 juta km. Jika misal wilayah yang dijangkau hanya seperempatnya saja pun, biayanya tetap tak sedikit. Apalagi, jasa transportasi online baru gencar merambah ke daerah-daerah, dalam dua tahun terakhir. Perlu upaya lebih untuk menjangkau semua konsumen.
Lagipula, para investor ini bukan sedang bermain permainan monopoli memakai uang-uangan kertas, dan bisnis startup ini juga bukan yayasan amal. Di sini, investor dan penerima dana sama-sama punya target yang harus dipenuhi. Jika tak dipenuhi, mereka akan rugi, bahkan bangkrut. Otomatis, perusahaan startup ini akan bergerak aktif, misalnya dengan gencar berpromosi, sambil menjalin kerjasama dengan sebanyak mungkin pelaku usaha (misal; restoran, ritel, dll), supaya, ada pemasukan lebih, tanpa 'memforsir' mitranya untuk kejar setoran. Jangan lupa, pelaku usaha "online startup" ini juga bayar pajak, yang bersumber dari dana investasi, dan pemasukan dari kerjasama bisnis lainnya. Jumlahnya? Besar.
Dari sisi perilaku konsumen, konsumen di  Indonesia tergolong cukup melek harga, dan melek kualitas. Rumusnya: harga murah, kualitas bagus, tak boleh ditawar. Kasus transportasi konvensional Vs online adalah contoh aktualnya. Dengan harga yang wajar dan transparan, fasilitas, plus pelayanan yang baik dari transportasi online, konsumen akan dengan senang hati memakainya. Jadi, pihak manajemen online startup takkan sembarangan menaikkan harga. Kecuali, jika ingin ditinggal konsumen.
Kasus transportasi konvensional vs online ini, hanya satu dari rangkaian siklus perubahan, pada budaya bertransportasi di negara kita. Seperti halnya saat kita dulu beralih, dari transportasi tradisional ke modern. Perubahan memang akan terus terjadi, seiring kemajuan zaman, tanpa bisa dibendung. Siapa yang mau berubah akan bertahan, tapi, siapa yang tidak berubah, akan lenyap ditelan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H