Akhir-akhir ini, banyak beredar kritik, soal cara kerja bisnis pada "online startup" (misal: toko online atau transportasi online). Kritik itu berupa postingan di media sosial, atau aplikasi chatting, yang viral setelah disebarluaskan kesana kemari.
Secara umum, postingan itu mengkritisi cara kerja "online startup" yang dinilai tak sehat secara bisnis. Karena, "online startup" ini dinilai bersaing secara tak sehat, dengan menjalankan strategi subsidi tarif, yang tak mungkin dilakukan pelaku bisnis konvensional. Lebih jauh lagi, postingan kritik itu menyebut strategi subsidi tarif ini, sebagai strategi "membakar uang". Meski sekilas tampak meyakinkan, dengan fakta-fakta yang ditampilkannya, kritik ini sebetulnya menyesatkan. Karena, fakta-fakta tersebut cenderung dipelintir sedemikian rupa.
Sisi "belang" dari kritik tersebut terlihat jelas, saat kritik ini secara spesifik diarahkan ke "online startup" yang bergerak di bidang transportasi. Di sini, cukup terlihat, fakta-fakta pendukung yang disodorkan cenderung ngawur dan tendensius.
Pertama, dengan mengambil contoh kasus pada Taksi Uber, si pengkritik ini menyatakan, Uber dilarang di beberapa kota di Amerika Serikat (AS) dan Kanada, Bulgaria, Denmark, Hungaria, Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Taiwan, Australian Northern Territory /Australia Utara, dan Inggris (khususnya kota London). Penyebabnya, ada permasalahan mendasar yg membuat munculnya konflik horizontal dengan transportasi konvensional. Permasalahan tersebut, disebutkan terletak bukan pada teknologinya tapi pada subsidi tarif, yang dijadikan strategi perusahaan transportasi online untuk merebut pangsa pasar transportasi konvensional.
Pada fakta pertama yang disodorkan ini, terdapat beberapa pemelintiran fakta. Pertama, si pengkritik ini mengambil satu contoh startup transportasi online, lalu menggeneralisasikan, seolah-olah situasi semua startup transportasi online juga seperti itu. Padahal, cara generalisasi seperti ini, adalah hal tabu dalam pemaparan fakta. Karena, cenderung tendensius, dan berpotensi menyesatkan.
Kedua, si pengkritik menyatakan, Uber dilarang beroperasi di sejumlah negara (wilayah tertentu/keseluruhan), karena konflik horizontal dengan kubu konvensional. Di London dan Australia Utara, Uber dilarang beroperasi karena dinilai menyalahi regulasi "safety riding" yang berlaku di kedua area ini.Â
Sementara itu di Kanada (negara bagian Vancouver, British Columbia, dan Quebec), AS (negara bagian Austin, Alaska, Texas, dan Oregon, kecuali kota Portland), Denmark, Hongaria, Bulgaria, dan Italia, Uber dilarang beroperasi karena menyalahi aturan hukum yang berlaku. Memang, di negara-negara ini, terdapat regulasi tegas tentang transportasi.
Di Taiwan, larangan beroperasi terhadap Uber sudah dicabut pemerintah setempat, pada April 2017 silam, setelah manajemen Uber membayar denda sebesar 25 juta dollar Taiwan (sekitar Rp 11,2 miliar) ke pemerintah setempat. Sebelumnya, Uber dilarang beroperasi selama 2 bulan di Taiwan, akibat terkendala masalah legalitas.
Sementara itu, di Prancis, Spanyol, dan Belanda, layanan Uber yang dinilai bermasalah, adalah Uber Pop (layanan taksi premium Uber Pop), yang dinilai menyalahi regulasi. Karena, pengemudi layanan jasa ini umumnya belum mempunyai lisensi khusus sesuai aturan yang berlaku. Jadi, subsidi tarif bukan jadi masalah di sini, tapi regulasi pemerintah.
Di Indonesia, regulasi soal transportasi jenis ini ada. Tapi lebih relevan untuk transportasi konvensional (pengemudi berstatus pegawai dengan jam kerja tetap, dan sistem kejar setoran), bukan online (pengemudi berstatus mitra dengan jam kerja fleksibel, dan sistem kejar poin).
Pada fakta kedua yang ditampilkan, si pengkritik ini menilai, startup transportasi online ini bertindak "gila", dengan berani merugi triliunan rupiah, bermodal suntikan dana dari investor, demi menguasai pasar, dengan mensubsidi tarif. Setelah pasar berhasil dikuasai, mereka akan berbalik memasang harga mahal, supaya uang yang dibakar tadi cepat kembali.
Menurut saya, 'fakta' ini terlalu bodoh, tak berdasar. Karena, pelaku usaha startup ini adalah pebisnis, seperti halnya investor. Mereka sama-sama mencari untung. Jelas, mereka punya perhitungan matang, dan sudah mempelajari situasi yang ada, berikut kalkulasi untung/ruginya, dengan menggunakan ilmu, yang dalam dunia manajemen bisnis, lazim disebut "Business Feasibility Study" (Studi Kelayakan Bisnis). Jadi, jika menurut kalkulasi mereka, bisnis ini tak layak investasi, mereka takkan berinvestasi.
Dalam bisnis, rugi di tahun-tahun awal beroperasi itu wajar. Apalagi, pada bisnis berbasis teknologi seperti ini. Pada startup transportasi online, modal utama mereka adalah jaringan database. Semakin luas jangkauan wilayahnya, semakin mahal biayanya. Seperti kita ketahui, Indonesia punya total luas daratan 1,9 juta km. Jika misal wilayah yang dijangkau hanya seperempatnya saja pun, biayanya tetap tak sedikit. Apalagi, jasa transportasi online baru gencar merambah ke daerah-daerah, dalam dua tahun terakhir. Perlu upaya lebih untuk menjangkau semua konsumen.
Lagipula, para investor ini bukan sedang bermain permainan monopoli memakai uang-uangan kertas, dan bisnis startup ini juga bukan yayasan amal. Di sini, investor dan penerima dana sama-sama punya target yang harus dipenuhi. Jika tak dipenuhi, mereka akan rugi, bahkan bangkrut. Otomatis, perusahaan startup ini akan bergerak aktif, misalnya dengan gencar berpromosi, sambil menjalin kerjasama dengan sebanyak mungkin pelaku usaha (misal; restoran, ritel, dll), supaya, ada pemasukan lebih, tanpa 'memforsir' mitranya untuk kejar setoran. Jangan lupa, pelaku usaha "online startup" ini juga bayar pajak, yang bersumber dari dana investasi, dan pemasukan dari kerjasama bisnis lainnya. Jumlahnya? Besar.
Dari sisi perilaku konsumen, konsumen di  Indonesia tergolong cukup melek harga, dan melek kualitas. Rumusnya: harga murah, kualitas bagus, tak boleh ditawar. Kasus transportasi konvensional Vs online adalah contoh aktualnya. Dengan harga yang wajar dan transparan, fasilitas, plus pelayanan yang baik dari transportasi online, konsumen akan dengan senang hati memakainya. Jadi, pihak manajemen online startup takkan sembarangan menaikkan harga. Kecuali, jika ingin ditinggal konsumen.
Kasus transportasi konvensional vs online ini, hanya satu dari rangkaian siklus perubahan, pada budaya bertransportasi di negara kita. Seperti halnya saat kita dulu beralih, dari transportasi tradisional ke modern. Perubahan memang akan terus terjadi, seiring kemajuan zaman, tanpa bisa dibendung. Siapa yang mau berubah akan bertahan, tapi, siapa yang tidak berubah, akan lenyap ditelan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H