Bicara soal skripsi alias tugas akhir (TA), pasti Anda semua, baik yang pernah, atau sedang menjalaninya, melihat tahapan akhir perkuliahan ini, sebagai proses paling "memorable" selama kuliah. Karena, pada tahap ini, seorang mahasiswa benar-benar diuji secara teknis, dan mental.
Secara teknis, mahasiswa akan diuji, seberapa bagus pemahamannya, pada topik yang ia susun. Secara mental, ia akan diuji, seberapa tahan ia menghadapi dosen pembimbing, dan dosen penguji, dengan segala ba-bi-bu nya. Ujian mental terberat adalah, saat si mahasiswa itu berhadapan satu lawan satu, dengan dosen pembimbing. Karena, situasi ini amat berbeda dengan di kelas, dimana mahasiswa menghadapi dosen secara keroyokan.
Bagi sebagian mahasiswa, menghadapi skripsi dengan cara "main lurus", adalah pilihan terhormat. Jelas, mereka sudah menempuh perjalanan berliku, sebelum akhirnya sampai di sini. Ibarat balap MotoGP, inilah lap terakhir menuju garis finish.Â
Inilah kesempatan terbaik mereka untuk tancap gas menggapai kelulusan. Tentunya, demi membahagiakan diri sendiri, orang tua, keluarga, teman, dan (kalau punya) pasangan. Alhasil, mereka akan rela pontang-panting, atau jungkir balik sekalipun, demi memperjuangkan skripsi. Demi skripsi, jika dibutuhkan, gunung akan didaki, lautan pun akan diseberangi dengan Semangat 45. Keyakinannya jelas, hasil takkan mengkhianati proses.
Tapi, bagi sebagian mahasiswa, skripsi adalah sesuatu yang semenakutkan film "Pengabdi Setan", "It", atau "Annabelle". Saking menakutkannya, skripsi mereka anggap sebagai sesuatu yang (kalau bisa) harus dituntaskan secara mudah, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tanpa harus berlelah-lelah. Tentunya, demi membahagiakan diri sendiri, orang tua, keluarga, teman, dan (kalau punya) pasangan.
Sayang, motivasi positif ini dilandasi pikiran menyimpang. Akibatnya, cara yang ditempuh pun salah. Mereka lalu rela membayar dengan harga tinggi ke penyedia jasa menyusun skripsi, demi mewujudkan target lulus. Jelas, apapun caranya, berapapun harganya, yang penting cepat beres.
Di Yogyakarta, daerah tempat saya berdomisili saat ini, meski tergolong sebagai "bisnis bawah tanah", karena tak pernah dipromosikan secara terang-terangan, jasa menyusun skripsi, adalah salah satu bisnis yang ceruk pasarnya potensial. Posisi Yogyakarta sebagai salah satu barometer nasional pendidikan tinggi, membuat peluang ini cukup terbuka. Tapi, karena risiko berat yang dapat timbul jika sampai ketahuan, membuat gaya kerja pelaku bisnis ini begitu rapi, sulit diendus, layaknya Agen 007.
Menariknya, pada Kamis (12/10) lalu, saat saya sedang melintas di daerah Bulaksumur, tepatnya, di sebelah timur GOR Universitas Gadjah Mada (UGM), secara tak sengaja, saya menemui gambar, seperti yang ditampilkan di atas. Tapi, berhubung ada keperluan lain, saya baru sempat memotretnya, saat perjalanan pulang ke rumah. Waktu itu, berhubung adanya masalah kelainan bawaan pada tangan saya, saya meminta bantuan abang Gojek, yang saat itu sedang saya tumpangi, untuk memotretnya. Thanks a lot, bang!
Pada gambar di atas, tampak jelas, dua jenis keberanian berbeda. Keberanian pertama, muncul dari si pengiklan, yang secara terang-terangan mencantumkan nomor kontaknya, dan jenis layanan jasanya. Tulisan hitam diatas putih itu berukuran sebesar tembok, dan berada di area yang cukup dekat dengan kampus. Benar-benar frontal.
Sementara itu, jenis keberanian kedua, tampak pada goresan cat warna merah, yang berusaha menghapus nomor kontak itu. Menariknya, di atas tulisan nomor itu, terdapat tulisan bernada menyanggah, "Aku nggarap T.A. dewe!" ("Aku mengerjakan tugas akhir(ku) sendiri!"). Sebuah perpaduan unik nan langka, dari dua jenis keberanian yang kontradiktif.
Di satu sisi, saat melihat nomor penyedia jasa yang terpampang besar-besar itu, saya agak khawatir. Karena, untuk hal mendasar seperti skripsi saja sudah begini. Bagaimana nanti jika mereka jadi pemimpin? Segawat itukah kondisi bangsa kita? Jelas, ada yang salah.