Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sisi Lain Krisis Kemanusiaan Rohingya

4 September 2017   00:54 Diperbarui: 6 September 2017   23:19 4735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelumnya, Saya mohon maaf sedalam-dalamnya, jika ada Pembaca, yang kurang berkenan, dengan apa yang Saya tulis ini.

Belakangan ini, kembali bermunculan berita-berita, soal masalah etnis Rohingya di Myanmar, yang memicu protes besar-besaran seperti sebelumnya. Di Indonesia, aksi simpatik ataupun protes kepada pemerintah Myanmar kembali bermunculan. Pemicu utamanya adalah, pemerintah Myanmar dinilai bertindak terlalu kejam, pada kelompok minoritas Rohingya, yang beragama Islam.

Sekilas, tak ada yang salah dengan tindakan solider ini. Tapi, diangkatnya isu sensitif minoritas (Rohingya/Islam) Vs mayoritas (Burma/Buddha), membuat isu ini sepanas bistik iga sapi bakar, yang baru saja matang. Di sini, justru terdapat salah kaprah, yang cukup mendasar soal krisis kemanusiaan Rohingya.

Pertama, secara etimologi, Rohingya adalah istilah yang berasal dari kata "Rohang" (Bahasa Bengali untuk menyebut wilayah Arakan/Rakhine), dan "ya" (Bahasa Bengali, artinya orang). Dari etimologinya, Rohingya berarti "orang Rohang/orang Arakan". Istilah ini digunakan, sebagai sebutan untuk orang etnis Bengali, yang tinggal di sebagian wilayah Rakhine Utara, yang sekarang masuk wilayah Myanmar.

Sedangkan, di sebagian wilayah Rakhine lainnya, yang sekarang masuk wilayah Bangladesh, istilah Rohingya tak dikenal. Di Myanmar, sebutan Rohingya sendiri baru muncul, pada masa kemerdekaan negara itu tahun 1948. Jadi, kelompok "Rohingya" sebenarnya adalah etnis Bengali yang tinggal di wilayah Rakhine Utara, Myamnar.

Pemerintah Myanmar sendiri, mengklasifikasikan orang-orang Rohingya sebagai "keturunan etnis Bengali". Sekadar diketahui, pada masa awal penjajahan Inggris di Myanmar (1826), Rakhine Utara dimasukkan Inggris ke dalam wilayah, yang sekarang disebut negara Bangladesh. Wilayah ini banyak dihuni pekerja migran dari etnis Bengali kiriman pemerintah kolonial Inggris. Pada masa kemerdekaan Myanmar, Rakhine Utara kembali menjadi wilayah Myanmar.

Tapi, meski tergolong keturunan etnis Bengali, mereka menganggap dirinya sebagai "orang Rohang", bukan etnis Bengali. Inilah yang menjadi salah satu pemicu berlarut-larutnya masalah orang Rohang di Myanmar. Karena, menurut Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan di Myanmar tahun 1982 (UU ini masih berlaku hingga kini), orang Rohang dikategorikan sebagai "imigran Bengali", atau "orang etnis Bengali", bukan penduduk asli Myanmar. Akibatnya, orang Rohang tak diakui status kewarganegaraan, dan kesukuannya di Myanmar. 

Celakanya, pemerintah Bangladesh juga tak selalu mau menerima pengungsi orang Rohang. Karena, negara Asia Selatan berpenduduk 163 juta jiwa ini, masih diterpa masalah kependudukan, dan kemiskinan, akibat tingginya tingkat kepadatan penduduk disana. Inilah yang membuat sebagian orang Rohang hidup terlunta-lunta sebagai pengungsi.

Kedua, masalah orang Rohang yang saat ini (masih) terjadi, sebetulnya lebih rumit dari yang terlihat dari luar. Karena, masalah yang menimpa orang Rohang ini bukan hanya masalah tindak persekusi, yang dilakukan kaum ekstremis kelompok mayoritas (pemerintah Militer Myanmar yang didominasi penganut agama Buddha), terhadap minoritas (orang Rohang yang beragama Islam).

Hanya saja, isu 'mayoritas versus minoritas' ini lebih sering diangkat. Karena, isu ini terlihat sangat seksi. Padahal, masalah lain, yang menyertainya, juga tak kalah panas.

Seperti diketahui, mayoritas penduduk Myanmar beragama Buddha, dan beretnis Burma atau Birma. Etnis Burma inilah, yang mendominasi pemerintahan di Myanmar sejak lama. Di sini, peran kelompok minoritas dibatasi secara sistematis. Dominasi ini terlihat jelas, dari nama lama negara Myanmar, yakni Burma atau Birma, yang sempat digunakan antara tahun 1948-1989, sebelum berubah menjadi Myanmar hingga kini.

Di balik isu 'mayoritas versus minoritas' ini, sebenarnya ada dua faktor lain yang jadi pemicunya. Pertama, adanya tuntutan otonomi khusus untuk wilayah Rakhine Utara, dari kelompok separatis (menurut perspektif pemerintah Myanmar) lokal, kepada pemerintah pusat Myanmar.

Di  Indonesia, kasus semacam ini, pernah terjadi di Aceh, yang saat ini menjadi daerah otonomi khusus. Sayang, tuntutan ini ditolak pemerintah Myanmar. Akibatnya, terjadi rentetan aksi kekerasan bersenjata di wilayah ini, dengan rakyat sipil, dari kelompok orang Rohang sebagai korbannya.

Selain itu, kelompok orang Rohang di Rakhine Utara, sempat meminta pemerintah Bangladesh (negara asal etnis Bengali ini merdeka dari Pakistan tahun 1971), untuk mengintegrasikan wilayah ini ke negara Bangladesh (yang mayoritas penduduknya beragama Islam). Sayang, permintaan ini ditolak pemerintah Bangladesh.

Faktor pemicu masalah orang Rohang lainnya adalah, melimpahnya potensi kekayaan alam berupa migas di Rakhine Utara, salah satu wilayah termiskin di Myanmar. Kekayaan melimpah ini, mampu menarik minat perusahaan migas lokal maupun asing (misal AS, Inggris, Tiongkok, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, dll) untuk mengolahnya secara besar-besaran. Menyadari potensi pemasukan besar ini, pemerintah Myanmar lalu gencar mendorong pengusiran orang Rohang, supaya lahan yang dapat diolah makin luas. Inilah yang membuat banyak negara terkesan 'diam' soal masalah kemanusiaan orang Rohang.

Di sisi lain, Aung San Suu Kyi, selaku pemimpin "de jure" Myanmar, jelas tak bisa berbuat banyak soal orang Rohang ini. Karena, kekuasaan di Myanmar secara "de facto" masih dipegang junta militer, yang masih memegang kendali penuh atas kekuasaan. Mau tak mau, Suu Kyi cenderung bersikap diam. Karena, posisinya di pemerintahan Myanmar belum cukup kuat.

Mengingat silang sengkarut yang meliputinya, langkah pernyataan resmi, dan dialog diplomatik bilateral, yang dilakukan pemerintah Indonesia, dengan Myanmar, soal masalah orang Rohang ini, sudah sesuai aturan diplomatik internasional yang berlaku. Lagipula, sebetulnya itu adalah urusan domestik pemerintah Myanmar, yang sedang ditangani PBB, selaku otoritas internasional, yang level cakupannya diatas ASEAN. Jika kita bertindak semaunya di sini, sama saja kita tak menghormati kedaulatan Myanmar. Hal ini, justru akan memperkeruh keadaan.

Bicara soal kedaulatan, kita tentu ingat, bagaimana perasaan kita, saat gambar Sang Merah Putih dipasang terbalik, dalam booklet panduan SEA Games 2017 di Malaysia. Jika (misalkan) urusan domestik kita terlalu dicampuri negara lain, tentu akan terasa lebih menyakitkan.

Sebetulnya, daripada terlalu sibuk memikirkan, atau bahkan mempolitisasi masalah domestik negara lain, kita sekarusnya jangan lupa fokus membenahi dulu negara kita, yang masih punya seabrek masalah; kemiskinan, korupsi, radikalisme, kriminalitas, dan lain-lain. Belum lagi, kita masih harus berperang melawan berita bohong, dan ujaran kebencian di dunia maya. Seabrek masalah ini, jelas bukan perkara ringan.

Lagipula, jika misal negara kita, (dengan kondisi seperti sekarang) bersedia menampung rombongan imigran orang Rohang, yang jumlahnya ribuan, apakah kita mampu? Seperti kita ketahui, menangani imigran asing dalam jumlah besar, butuh biaya besar. Padahal, masih banyak orang yang hidupnya serba kekurangan di Indonesia. Jika mereka kian terabaikan, karena kita lebih fokus mengurus orang Rohang, itu sungguh sebuah aib yang nista.

Pada saat yang sama, seharusnya masalah orang Rohang ini menjadi pelajaran berharga untuk bangsa kita. Jangan sampai ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas, seperti yang dialami orang Rohang di Myanmar. Karena, mayoritas dan minoritas, pada hakekatnya punya derajat yang setara.


Selain itu, masalah orang Rohang ini, sekali lagi mengajak kita untuk melihat suatu masalah secara utuh, bukan sepotong-sepotong. Supaya, tidak ada salah paham yang dapat menyesatkan.

Referensi artikel:

Satu, Dua, Tiga, Empat

Referensi jurnal:

1. Burma Briefing, Burma's Treatment of The Rohingya and International Law, Burma Campaign UK No. 23, April 2013

2. Saw, U. K. M., (1993), "The "Rohingyas"; Who Are They? The Origin of The Name "Rohingya", Tradition and Modernity in Myanmar, pg. 89-100

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun