Di balik isu 'mayoritas versus minoritas' ini, sebenarnya ada dua faktor lain yang jadi pemicunya. Pertama, adanya tuntutan otonomi khusus untuk wilayah Rakhine Utara, dari kelompok separatis (menurut perspektif pemerintah Myanmar) lokal, kepada pemerintah pusat Myanmar.
Di  Indonesia, kasus semacam ini, pernah terjadi di Aceh, yang saat ini menjadi daerah otonomi khusus. Sayang, tuntutan ini ditolak pemerintah Myanmar. Akibatnya, terjadi rentetan aksi kekerasan bersenjata di wilayah ini, dengan rakyat sipil, dari kelompok orang Rohang sebagai korbannya.
Selain itu, kelompok orang Rohang di Rakhine Utara, sempat meminta pemerintah Bangladesh (negara asal etnis Bengali ini merdeka dari Pakistan tahun 1971), untuk mengintegrasikan wilayah ini ke negara Bangladesh (yang mayoritas penduduknya beragama Islam). Sayang, permintaan ini ditolak pemerintah Bangladesh.
Faktor pemicu masalah orang Rohang lainnya adalah, melimpahnya potensi kekayaan alam berupa migas di Rakhine Utara, salah satu wilayah termiskin di Myanmar. Kekayaan melimpah ini, mampu menarik minat perusahaan migas lokal maupun asing (misal AS, Inggris, Tiongkok, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, dll) untuk mengolahnya secara besar-besaran. Menyadari potensi pemasukan besar ini, pemerintah Myanmar lalu gencar mendorong pengusiran orang Rohang, supaya lahan yang dapat diolah makin luas. Inilah yang membuat banyak negara terkesan 'diam' soal masalah kemanusiaan orang Rohang.
Di sisi lain, Aung San Suu Kyi, selaku pemimpin "de jure" Myanmar, jelas tak bisa berbuat banyak soal orang Rohang ini. Karena, kekuasaan di Myanmar secara "de facto" masih dipegang junta militer, yang masih memegang kendali penuh atas kekuasaan. Mau tak mau, Suu Kyi cenderung bersikap diam. Karena, posisinya di pemerintahan Myanmar belum cukup kuat.
Mengingat silang sengkarut yang meliputinya, langkah pernyataan resmi, dan dialog diplomatik bilateral, yang dilakukan pemerintah Indonesia, dengan Myanmar, soal masalah orang Rohang ini, sudah sesuai aturan diplomatik internasional yang berlaku. Lagipula, sebetulnya itu adalah urusan domestik pemerintah Myanmar, yang sedang ditangani PBB, selaku otoritas internasional, yang level cakupannya diatas ASEAN. Jika kita bertindak semaunya di sini, sama saja kita tak menghormati kedaulatan Myanmar. Hal ini, justru akan memperkeruh keadaan.
Bicara soal kedaulatan, kita tentu ingat, bagaimana perasaan kita, saat gambar Sang Merah Putih dipasang terbalik, dalam booklet panduan SEA Games 2017 di Malaysia. Jika (misalkan) urusan domestik kita terlalu dicampuri negara lain, tentu akan terasa lebih menyakitkan.
Sebetulnya, daripada terlalu sibuk memikirkan, atau bahkan mempolitisasi masalah domestik negara lain, kita sekarusnya jangan lupa fokus membenahi dulu negara kita, yang masih punya seabrek masalah; kemiskinan, korupsi, radikalisme, kriminalitas, dan lain-lain. Belum lagi, kita masih harus berperang melawan berita bohong, dan ujaran kebencian di dunia maya. Seabrek masalah ini, jelas bukan perkara ringan.
Lagipula, jika misal negara kita, (dengan kondisi seperti sekarang) bersedia menampung rombongan imigran orang Rohang, yang jumlahnya ribuan, apakah kita mampu? Seperti kita ketahui, menangani imigran asing dalam jumlah besar, butuh biaya besar. Padahal, masih banyak orang yang hidupnya serba kekurangan di Indonesia. Jika mereka kian terabaikan, karena kita lebih fokus mengurus orang Rohang, itu sungguh sebuah aib yang nista.
Pada saat yang sama, seharusnya masalah orang Rohang ini menjadi pelajaran berharga untuk bangsa kita. Jangan sampai ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas, seperti yang dialami orang Rohang di Myanmar. Karena, mayoritas dan minoritas, pada hakekatnya punya derajat yang setara.
Selain itu, masalah orang Rohang ini, sekali lagi mengajak kita untuk melihat suatu masalah secara utuh, bukan sepotong-sepotong. Supaya, tidak ada salah paham yang dapat menyesatkan.