Revolusi Mental, dalam konteks politik, adalah program kampanye Presiden Joko Widodo, saat Pilpres 2014 lalu. Dalam perkembangannya, Revolusi Mental itu, diwujudkan lewat program pemberantasan pungutan liar (pungli), dan kebijakan-kebijakan yang prorakyat, transparan, dan akuntabel (walaupun masih banyak yang harus dibenahi, atau belum sepenuhnya terwujud). Berkat program Revolusi Mental ini, perlahan tapi pasti, kinerja badan-badan penyelenggara negara mulai membaik, dibanding periode sebelumnya.
Dalam konteks sepak bola nasional, Revolusi Mental adalah satu kebutuhan mendesak, yang harus segera dipenuhi, demi perbaikan kualitas sepakbola kita di masa depan. Revolusi Mental yang dimaksud, adalah perubahan dalam pola pikir pelaku sepakbola kita; pemain, klub, wasit, media, suporter, dan organisasi (dalam hal ini PSSI, selaku federasi sepak bola di Indonesia).Pada pesepakbola kita, pola pikir yang harus dibenahi, adalah dalam hal kerja sama tim, disipliner, dan mental bertanding.
Soal kerja sama tim, dan disipliner, ada satu pola pikir, yang entah mengapa, masih mengakar kuat di dunia sepak bola kita; seorang pemain hanya dianggap berkemampuan hebat, jika ia jago menggocek bola, melewati 3-4 orang pemain lawan seorang diri, bukan yang, disiplin dalam bertahan, ahli mengoper atau menembak jitu.Â
Memang, kemampuan individu, adalah hal penting, yang harus ada pada seorang pesepakbola. Tapi, bagaimanapun sepak bola adalah olahraga tim. Harus ada kerjasama, dan disiplin tim, dalam hal bertahan atau menyerang. Apalagi, saat ini adalah era sepak bola modern, yang menekankan aspek kerjasama tim, dan diisiplin.Â
Kalaupun ada pemain berkemampuan individu spesial, pastinya kemampuan si pemain berada di atas rata-rata kemampuan rekan-rekan setimnya, seperti pada diri Cristiano Ronaldo, atau Lionel Messi. Sementara, kemampuan individu pemain kita saat ini, belum benar-benar mencapai tahap itu.
Dalam hal mental bertanding, rata-rata pemain, dan klub kita mempunyai masalah mental; bisa main habis-habisan saat laga kandang, karena tekanan ‘harus menang', tapi terkesan ‘asal-asalan' saat laga tandang, dengan menganggap hasil imbang di kandang lawan, sebagai sebuah kemenangan.Â
Akibatnya, penampilan tim tampak bagus di laga kandang, tapi mengkhawatirkan di laga tandang. Seperti yang Timnas kita tampilkan, di semifinal, dan final Piala AFF 2016 Â lalu. Padahal, sepak bola adalah sebuah kompetisi, di mana laga kandang dan tandang mempunyai nilai sama besar. Di sini, pemain kita perlu dibiasakan secara mental, untuk tampil tanpa beban, supaya bisa tampil sama baik, saat laga kandang, maupun tandang.
Pada klub-klub kita, dan PSSI, pola pikir yang harus dibenahi, selain mental bertanding, adalah pola manajemen klub dalam hal pembinaan pemain, dan tim secara umum. Kebanyakan manajemen klub di Indonesia, meski berlabel ‘profesional', masih menerapkan gaya amatir. Karena, setiap musim kompetisi selesai, sebuah tim langsung dibubarkan. Tim baru dibentuk lagi, menjelang kompetisi dimulai, lalu dibubarkan lagi saat kompetisi selesai. Model manajemen ini juga diterapkan, pada tim muda mereka. Gaya ini tidak efektif, dari segi pendanaan, pembinaan pemain muda, dan persiapan tim, karena hanya  berorientasi jangka  pendek.Â
Ironisnya, meski berorientasi jangka pendek, rata-rata manajemen klub di Indonesia, memasang target tinggi. Celakanya, pola manajemen ini, juga diterapkan di tim nasional kita. Padahal, manajemen tim, dan pembinaan pesepakbola profesional, idealnya berorientasi jangka panjang. Akibatnya, tim nasional Indonesia kesulitan berprestasi secara konsisten, bahkan di level ASEAN sekalipun.
Pada sektor perwasitan kita, aspek yang perlu dibenahi adalah pemahaman soal aturan offside, dan netralitas. Rata-rata wasit di Indonesia, mempunyai interpretasi berbeda, dari wasit-wasit pada umumnya, soal aturan offside. Akibatnya, pemain-pemain kita tampak kebingungan, saat berlaga di pentas internasional, karena adanya perbedaan, antara aturan offside yang biasa diterapkan di kompetisi lokal, dengan aturan offside pada umumnya.Â
Dalam hal netralitas, rata-rata wasit kita kurang netral, karena kurangnya proteksi kepada wasit kita. Perlu diterapkan proteksi, dan regulasi perlindungan wasit, termasuk penerapan sanksi tegas, untuk memberi efek jera, jika ada pelanggaran serius atas wasit.
Sedangkan, pada suporter, dan media kita, ada satu pola pikir lama, tentang betapa potensialnya pemain-pemain timnas kita. Sehingga, ekspektasi yang dibebankan, dan sorotan yang diterima kadang berlebihan. Akibatnya, timnas kesulitan tampil lepas.Â
Dalam hal ini, satu pola pikir yang harus diterapkan adalah, kita harus objektif. Karena meski pemain kita potensial, potensi itu masih sebatas potensi, karena belum dibina dengan baik. Kita harus mulai belajar realistis, dan memikirkan target untuk jangka panjang.
Untuk kemajuan sepak bola kita, kita perlu mulai menerapkan pola pikir jangka panjang, membenahi mental bertanding, dan berpikir realistis.Selain itu, kualitas perwasitan kita, dan pembinaan pemain muda, harus digarap secara serius. Memang, itu semua membutuhkan waktu tidak sebentar. Tapi, bagaimanapun, timnas, dan kompetisi sepakbola berkualitas, tidak tercipta hanya dalam waktu semalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H