Selama puluhan tahun, para pecinta sepakbola selalu dihantui satu pertanyaan klasik, "mana yang lebih baik, sepakbola menyerang atau bertahan?", pertanyaan itu kemudian memunculkan dua jawaban; Pertama, ‘pertahanan terbaik adalah menyerang'; Kedua; Pertahanan terbaik adalah bertahan, untuk kemudian menyerang balik saat lawan sedang lengah. Jawaban pertama adalah pemikiran dasar para penganut paham sepakbola menyerang, mereka sangat mengagungkan proses yang indah, menggempur habis lawan sejak pertandingan dimulai, tanpa takut jika keindahan yang mereka ciptakan ini berbalik menjadi senjata makan tuan. Pemikiran ini kemudian menjadi prinsip dasar Totaal Voetbal Rinus Michels, "Sepakbola Gembira" Cesar Luis Menotti, Jogo Bonito Brasil, dan Tiki-Taka Josep Guardiola.
Sedangkan, jawaban kedua adalah pemikiran dasar sepakbola bertahan, mereka sangat mengagungkan kesolidan dalam bertahan, dengan kesalahan seminimal mungkin. Bagi mereka, bertahan adalah sebuah seni, karena pertahanan yang kuat adalah awal dari serangan mematikan; tak perlu menciptakan sepuluh peluang yang gagal, cukup satu, atau dua peluuang yang pasti menjadi gol, sekaligus membuat lawan mati seketika. Pemikiran ini kemudian menjadi prinsip dasar dari Catenaccio Helenio Herrera, Sepakbola Disiplin (Staying Power) Jerman, dan "Sepakbola Parkir Bus" ala Jose Mourinho.
Pada prinsipnya, sepakbola menyerang menekankan pentingnya dominasi atas lawan di setiap aspek permainan, mulai dari jumlah operan, jumlah sepak pojok, sampai jumlah tembakan. Tujuannya jelas; menggilas total lawan -seperti kata Rinus Michels-, untuk kemudian menjadikan gol sebagai operan terakhir ke gawang lawan -seperti kata Cesar Luis Menotti-. Meskipun terdengar indah, sepakbola menyerang terkesan naïf, ketika menang, ungkapan ‘proses tidak akan pernah mengkhianati hasil' adalah sebuah keniscayaan.
Tetapi, ketika kalah, ungkapan ‘mati dalam keindahan' adalah sebuah pledoi atas sebuah tragedi, jika tidak ingin disebut sebagai sebuah kecerobohan. Contoh paling representatif adalah apa yang dialami Tim Nasional Belanda di Piala Dunia 1974. Tim Oranye kala itu memainkan satu orkestra sepakbola, dengan Rinus Michels sebagai komposernya, dan Johan Cruijff sebagai dirigennya. Mereka memulai orkestra dengan irama riang, tetapi berakhiran sumbang, karena harus kalah di partai puncak melawan Jerman (Barat), yang menghukum mereka dengan dua serangan balik maut.
Meski dipuja-puji, hingga kini, predikat "Juara Tanpa Mahkota", yang mereka sandang sejatinya adalah sebuah pujian sekaligus sindiran. Pujian atas proses luar biasa yang mereka tampilkan; sekaligus sindiran atas hasil akhir yang mereka dapatkan.
Berbeda dengan sepakbola menyerang, yang menekankan dominasi mutlak di semua aspek, dengan keindahan sebagai bonusnya, sepakbola bertahan menekankan kehati-hatian, dengan kekasaran sebagai bonusnya. Bagi mereka, sepakbola bukan sebuah kontes kecantikan, ini soal hasil akhir. Cara bermain mereka sangat tidak enak ditonton, jika dibandingkan dengan sepakbola menyerang. Mereka terkesan garang, tidak ‘anggun' sama sekali. Rapi memang, tapi sering mendebarkan. Meskipun tujuan mereka jelas; meraih poin penuh, berapapun skornya.
Ketika menang, kredo "hasil akhir berbicara" adalah sebuah keniscayaan, tetapi, ketika kalah, kredo "kami membiarkan lawan begitu saja" adalah sebuah pledoi atas sebuah penderitaan, jika tidak ingin disebut sebagai kemalasan berinisiatif. Contoh paling representatif adalah apa yang biasa dilakukan Jose Mourinho, yang ketika menang terkesan jemawa, tetapi ketika kalah mengakui kesalahan timnya, walaupun kadang menyalahkan wasit.
Perbedaan pandangan antara sepakbola menyerang versus sepakbola bertahan  kemudian menjadi sebuah civil war dalam sepakbola. Tetapi, civil war itu perlahan sirna, seiring merebaknya tren "pressing football", yang  merupakan perpaduan dari sepakbola menyerang, dan bertahan. Prinsipnya adalah; terus mempersempit ruang gerak lawan, sehingga mereka ‘terpaksa' membuat kesalahan sendiri. Ketika lawan membuat kesalahan, inilah awal sebuah serangan.
Secara konsep, pressing football memadukan inisiatif pergerakan tanpa bola sepakbola menyerang, dan efektifitas serangan balik sepakbola bertahan.Â
Pada awalnya, konsep pressing football muncul pada masa kejayaan Dream Team AC Milan pada akhir 1980an-awal 1990an. Kala itu, tim asuhan Arrigo Sacchi menerapkan konsep zonal pressing, atau zonal marking yang menekankan pentingnya penjagaan wilayah. Taktik ini merupakan antitesis dari konsep penjagaan perorangan (man to man marking), yang kala itu menjadi tren.
Konsep ini bertujuan mengakomodasi kemampuan para pemain berkarakter ofensif dan defensif  dalam tim. Karakter ofensif dalam tim ini diwakili oleh Ruud Gullit, Marco Van Basten, dan Frank Rijkaard. Sedangkan, karakter defensif diwakili oleh Franco Baresi, Paolo Maldini, dan Alessandro Costacurta. Hasilnya, tim Setan Merah dari Italia menjadi tim yang dominan di Liga Italia, dan Eropa.
Kemudian, konsep pressing football digunakan oleh tim Setan Merah dari Inggris, yaitu Manchester United, saat mereka mulai menapaki masa jaya pada pertengahan dekade 1990-an. Tim asuhan Sir Alex Ferguson menjadikan pressing sebagai awal serangan, dengan gol dari serangan balik cepat sebagai hasil akhir. Sehingga, kita kemudian mengenal Manchester United era Fergie sebagai tim yang ahli dalam serangan balik. Dengan konsep inilah, Manchester United mampu berkuasa di Inggris, dan menjadi tim kuat di Eropa, sampai Fergie pensiun pada tahun 2013 silam Oleh sebagian pengamat, taktik Fergie ini disebut sebagai "sepakbola menyerang (yang) pragmatis". Â
Pressing football belakangan mulai menjadi tren di Eropa, menggantikan konsep dominasi penguasaan bola. Berawal dari suksesnya gegenpressing ala Jurgen Klopp, yang membawa Dortmund menjadi tim tangguh di Jerman dan Eropa, yang diikuti dengan suksesnya taktik pressing ala Jupp Heynckes di Bayern Munich meraih treble winner tahun 2013. Puncaknya adalah, ketika Timnas Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 di Brasil, dengan taktik dasar counter pressing.
Virus pressing football juga menyebar  lewat empat sosok pelatih asal Argentina; Marcelo Bielsa, Diego Simeone, Jorge Sampaoli, dan Mauricio Pochettino. Konsep pressing football ala Marcelo Bielsa menjadi konsep dasar taktik Tim Nasional Chile saat ini, yang juga sukses mengantar Athletic Bilbao mencapai final Piala Raja Spanyol, dan Liga Europa tahun 2012.
Dengan taktik serupa, Jorge Sampaoli sukses mengantar Tim Nasional Chile juara Copa America 2015. Sementara itu, pressing football ala Diego Simeone -yang cenderung defensif-, sukses menjadikan Atletico Madrid menjuarai La Liga Spanyol 2014. Lewat konsep serupa pula, Mauricio Pochettino sukses menjadikan Tottenham Hotspur sebagai tim tangguh di Liga Inggris.
Tak ketinggalan, ada pula Antonio Conte, pelatih dari Italia yang menganut konsep pressing football, dengan pola paten 3-4-3, lewat taktik ini, ia berhasil menjadikan Juventus, Chelsea, dan Timnas Italia sebagai tim  yang solid.
Munculnya tren pressing football dalam sepakbola modern seolah menjadi jawaban bagi para penganut paham sepakbola menyerang, yang berkali-kali patah hati, dan para penganut paham sepakbola bertahan, yang berkali-kali frustrasi. Pressing football adalah perpaduan kedua paham tersebut. Boleh dikata, ia adalah sepakbola seimbang, karena memadukan sepakbola menyerang dan bertahan. Pressing football fleksibel, jika berhadapan dengan sepakbola menyerang, ia tidak panik, sebaliknya, jika berhadapan dengan sepakbola bertahan, ia tidak terlena. Maka, jawaban dari pertanyaan; "mana yang lebih baik, sepakbola menyerang atau bertahan?", adalah; keduanya (baca: pressing football).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H