Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Demam "Pressing Football" di Sepakbola Dunia

3 Desember 2016   09:28 Diperbarui: 4 Desember 2016   11:22 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vice Sports Y La Barra | Getty Images

Kemudian, konsep pressing football digunakan oleh tim Setan Merah dari Inggris, yaitu Manchester United, saat mereka mulai menapaki masa jaya pada pertengahan dekade 1990-an. Tim asuhan Sir Alex Ferguson menjadikan pressing sebagai awal serangan, dengan gol dari serangan balik cepat sebagai hasil akhir. Sehingga, kita kemudian mengenal Manchester United era Fergie sebagai tim yang ahli dalam serangan balik. Dengan konsep inilah, Manchester United mampu berkuasa di Inggris, dan menjadi tim kuat di Eropa, sampai Fergie pensiun pada tahun 2013 silam Oleh sebagian pengamat, taktik Fergie ini disebut sebagai "sepakbola menyerang (yang) pragmatis".  

Pressing football belakangan mulai menjadi tren di Eropa, menggantikan konsep dominasi penguasaan bola. Berawal dari suksesnya gegenpressing ala Jurgen Klopp, yang membawa Dortmund menjadi tim tangguh di Jerman dan Eropa, yang diikuti dengan suksesnya taktik pressing ala Jupp Heynckes di Bayern Munich meraih treble winner tahun 2013. Puncaknya adalah, ketika Timnas Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 di Brasil, dengan taktik dasar counter pressing.

Virus pressing football juga menyebar  lewat empat sosok pelatih asal Argentina; Marcelo Bielsa, Diego Simeone, Jorge Sampaoli, dan Mauricio Pochettino. Konsep pressing football ala Marcelo Bielsa menjadi konsep dasar taktik Tim Nasional Chile saat ini, yang juga sukses mengantar Athletic Bilbao mencapai final Piala Raja Spanyol, dan Liga Europa tahun 2012.

Dengan taktik serupa, Jorge Sampaoli sukses mengantar Tim Nasional Chile juara Copa America 2015. Sementara itu, pressing football ala Diego Simeone -yang cenderung defensif-, sukses menjadikan Atletico Madrid menjuarai La Liga Spanyol 2014. Lewat konsep serupa pula, Mauricio Pochettino sukses menjadikan Tottenham Hotspur sebagai tim tangguh di Liga Inggris.

Tak ketinggalan, ada pula Antonio Conte, pelatih dari Italia yang menganut konsep pressing football, dengan pola paten 3-4-3, lewat taktik ini, ia berhasil menjadikan Juventus, Chelsea, dan Timnas Italia sebagai tim  yang solid.

Munculnya tren pressing football dalam sepakbola modern seolah menjadi jawaban bagi para penganut paham sepakbola menyerang, yang berkali-kali patah hati, dan para penganut paham sepakbola bertahan, yang berkali-kali frustrasi. Pressing football adalah perpaduan kedua paham tersebut. Boleh dikata, ia adalah sepakbola seimbang, karena memadukan sepakbola menyerang dan bertahan. Pressing football fleksibel, jika berhadapan dengan sepakbola menyerang, ia tidak panik, sebaliknya, jika berhadapan dengan sepakbola bertahan, ia tidak terlena. Maka, jawaban dari pertanyaan; "mana yang lebih baik, sepakbola menyerang atau bertahan?", adalah; keduanya (baca: pressing football).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun