Mohon tunggu...
Yus R. Ismail
Yus R. Ismail Mohon Tunggu... -

Menulis buku, mengisi di media cetak, dan seorang blogger. Cerpen, puisi, dan bahasan lainnya tentang literasi bisa dibaca di http://dongengyusrismail.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kirim-kiriman Makanan

17 Agustus 2017   10:49 Diperbarui: 17 Agustus 2017   11:12 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cerpen ini pernah dimuat harian Solo Pos

Di kampung saya, setiap memasuki bulan puasa masih ada kebiasaan kirim-kiriman makanan. Tidak saja antarsaudara atau tetangga sebelah rumah. Kirim-kiriman makanan itu bisa kepada kenalan di kampung lain.

Kebiasaan itu biasanya dilakukan di awal bulan puasa atau di akhir saat menjelang Idul Fitri. Emak pernah mengalami kejadian lucu yang berhubungan dengan kirim-kiriman makanan itu. Suatu pagi emak mengirim kue bolu bikinannya kepada Bi Irah. Besoknya kue bolu itu datang lagi ke rumah, kiriman dari Ceu Mumun. Ceritanya, emak mengirim kue bolu kepada Bi Irah, oleh Bi Irah dikirimkan lagi kepada Wa Esih. Wa Esih mengirimkan kue bolu itu kepada Bu Ening. Bu Ening mengirimkannya kepada Ceu Mumun. Ceu Mumun tidak tahu kue bolu itu buatan emak, jadi mengirimkannya kepada emak.

Tapi itu terjadi sekitar sepuluh tahun lalu seperti cerita Emak. Sekarang semakin jarang yang melakukan kebiasaan kirim-kiriman itu. Emak masih melakukannya, tapi hanya kepada saudara dekat saja.

Saya ingin menceritakan kejadian lucu yang saya alami sendiri. Saya sering main ke rumah Nenek Amih, tetangga sebelah rumah. Nenek Amih bukan nenek asli saya. Hanya saudara jauh, tapi sejak ingat saya memanggilnya Nenek Amih. Sore hari di bale-bale rumah Nenek Amih, saya dan anak-anak lainnya, sering mendengarkan dongeng Nenek Amih.

Suatu pagi Nenek Amih sedang mengupas ubi. Di kampung saya, ubi harganya murah. Hampir setiap kebun ditanami ubi. Kalau kita ingin makan ubi, tinggal minta saja, pasti banyak yang memberi. Setiap panen, yang punya kebun suka memisahkan untuk diberikan kepada yang mau.

Saya membantu mengupas ubi ketika melihat Nenek Amih mengupas ubi yang banyak.

"Buat apa, Nek, ubi sebanyak ini?" tanya saya.

"Mau bikin kolak. Kasih tahu anak-anak, bantu Nenek untuk memberikan kolak ini nanti, ya?" Nenek Amih malah balik bertanya.

"Memberikan kepada siapa?"

"Kalau cukup buat orang sekampung. Kalau tidak cukup, buat tetangga yang dekat saja dulu." Nenek Amih bicara sambil memotong-motong ubi yang sudah dikupas. "Nanti anak-anak buka bersama di sini. Boleh bawa nasi dari rumah masing-masing. Habis makan kolak, kita makan nasi bersama-sama di bale-bale."

"Asyik...," kata saya sambil beranjak pergi.

"Mau kemana?"

"Memberi tahu teman-teman, Nek."

**

Sorenya saya dan anak-anak lainnya mengirimkan kolak bikinan Nenek Amih. Ada beberapa rumah yang setelah dikirim meminta saya menunggu, kemudian mereka memberikan makanan buat Nenek Amih. Istilahnya mulang. Kalau kita dikirim makanan, ya kita harus mulang, membalas memberi makanan.

Mulang yang paling menarik adalah dari Bu Isti, yaitu opor ayam serantang besar. Nenek Amih menyimpan opor itu. "Buat berbuka bersama nanti," katanya.

Ceu Iroh, tetangga lainnya, memanggil saya. Dia bertanya, "Dipulang apa oleh Bu Isti?"

"Opor ayam."

"Opor ayam? Sebanyak itu?"

"Iya."

Sore itu Ceu Iroh menangkap ayam. Saya membantu menyembelihnya.

"Wah, makan besar, Ceu," kata saya, siapa tahu kebagian ati ampelanya.

"Hus, ini buat ngirim ke Bu Isti. Nanti tolong kirimkan goreng ayamnya sepulang taraweh, ya?" kata Ceu Iroh sambil mencabuti bulu-bulu ayam. "Kalau Nenek Amih saja ngirim kolak ubi dipulang opor ayam. Ceu Iroh kan ngirim ayam goring, tentu dipulang makanan enak dari kota."

"Siapa, Ceu."

Sepulang taraweh saya mengantarkan kiriman Ceu Iroh ke Bu Isti. Wadahnya rantang besar. Pulangnya saya disuruh menunggu. Rantang besar itu diisi lagi, entah oleh apa. Sampai di rumah Ceu Iroh, saya langsung pulang. Ceu Iroh tersenyum ketika tahu rantangnya berat.

Tapi besoknya Ceu Iroh manyun.

"Dikirim kolak ubi saja mulangnya opor ayam. Masa dikirim ayam goreng mulangnya dengan kolak ubi," kata Ceu Iroh. Saya tertawa. ***

Ingin tahu cara mengirim cerpen anak ke Solo Pos? Klik saja DI SINI      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun