Rakey suka makan ubi oven. Awalnya ketika sakit. Tidak ada makanan yang bisa masuk ke dalam perutnya. Ketika Nenek datang menengok, dia merasakan manis dan legitnya ubi oven.
"Ini ubi oven si madu," kata Nenek.
Liburan semester ketika Ayah mengajaknya ke rumah Nenek, karena Kakek akan panen ubi, Rakey langsung mengiyakan. Hari sabtu pagi mereka berangkat ke kampung Cilembu. Cilembu merupakan kampung pegunungan di kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Sekitar satu jam setelah keluar tol Cileunyi, mobil sudah memasuki Cilembu. Udara segar berhembus melalui kaca mobil yang dibuka. Pepohonan berjajar sepanjang jalan. Advokat, petai selong, rumpun bambu, nangka, sirsak, sawo, meneduhi jalan aspal. Perkebunan sejauh mata memandang, membuat pemandangan indah. Daun-daun jagung berkilat hijau disorot matahari siang. Petakan-petakan kebun ubi berbunga ungu.
"Kebun ubi itu yang akan kita panen, Pak?" tanya Rakey.
"Bukan. Kebun ubi Kakek di Pasir Hui, harus berjalan kaki dulu dari rumah."
**
Pagi-pagi Kakek dan Papa sudah siap berangkat. Ibu membuat nasi goreng ceplok telor untuk sarapan. Setelah sarapan semuanya berangkat. Kakek memikul cangkul. Papa menggendong ransel perbekalan. Rakey juga menggendong ransel berisi kamera, jus jeruk, buku dan snack.
Perjalanan ke kebun lumayan melelahkan. Berjalan sekitar setengah jam membuat keringat membasahi baju Rakey. Di kebun ternyata sudah banyak yang membantu. Mang Karim, Mang Asip, Mang Kardun, Pak Ringko, Bik Uneh, Bik Uti, Ceu Nenah. Anak-anak juga ada Dindin dan Siti. Rakey sudah kenal dengan mereka.
"Kita bagian mengumpulkan ubi," kata Dindin. "Peralatannya pakai rokrak saja."
Rokrak itu potongan bambu kecil, panjangnya sekitar dua jengkal. Rakey awalnya tidak mengerti. Mang Karim dan Mang Asip mencangkul tanah. Sekali cangkul saja petakan tanah itu membalik. Ubi besar-besar terlihat. Rakey, Dindin dan Siti membantu ibu-ibu mengumpulkan ubi. Tidak semua ubi tinggal diambil dan dikumpulkan di pinggir. Karena banyak juga yang masih menancap di tanah. Pantesan tadi Dindin menyarankan memakai rokrak untuk mengorek ubi yang susah dicabut.
Baru sekitar satu jam saja gunungan ubi sudah ada di mana-mana. Bik Uneh dan Bik Uti memisahkan ubi kecil dan besar. Mang Kardun dan Pak Ringko mewadahi ubi besar dengan karung. Lalu dipikulnya karung itu ke pinggir jalan. Kakek kadang membantu membalik tanah dengan cangkulnya. Papa kadang ikut mengumpulkan ubi. Tapi seringnya memotret dengan kamera.
"Yuk, kita membantu memilah ubi," kata Dindin.
Rakey dan Siti berlarian ke gunungan ubi.
"Bukan hanya besar dan kecil yang dipisah. Tapi ubi yang kena lanas juga dipisah," kata Dindin.
"Apaan lanas?" kata Rakey.
"Lanas itu hama. Ubi yang kena lanas bolong-bolong. Bila sudah kena lanas, ubinya tidak enak, pahang, pahit dan sengak rasanya."
Untungnya tidak banyak ubi yang kena lanas. Ubi yang kena lanas dibuang. Ubi yang kecil-kecil, seukuran ubi jari kaki, dibagi-bagi kepada yang membantu. Meski yang membantu sudah membawa ubi banyak, ubi kecil itu masih berkarung-karung. Kebun Kakek memang luas.
**
"Kalau mau ubi bakar, bikin tuh di bawah rumpun bambu," kata Kakek.
Rakey meraba kening dan lehernya. Keringat membuat bajunya basah. Topi terasa panas. Matahari memang sudah tinggi.
"Ayo, Key, kita bikin api unggun," kata Dindin.
Tidak susah membuat api unggun. Ranting kecil dan daun bambu kering membuat api besar. Ubi-ubi itu dimasukkan ke dalam api. Ranting dan daun bambu tidak lagi ditambah setelah Dindin bilang, "Sudah cukup."
Ubi bakarnya lumayan manis. Meski tidak semanis yang Rakey bayangkan. Tapi Rakey tertawa-tawa melihat Dindin dan Siti belepotan arang saat memakannya.
"Kamu juga belepotan arang, Key," kata Dindin. Rakey mengusap bibirnya, betul saja warna hitam menempel di tangannya.
"Kalau ingin ubinya manis dan legit seperti yang dulu dibawa Nenek, ubi simadu ini harus diunun dulu, disimpan diangin-angin minimal dua minggu," kata Kakek. "Lebih lama diunun semakin manis. Ubi Cilembu ini sangat terkenal lho. Coba aja lihat di internet, di setiap kota besar ada kios ovennya. Dari Cilembunya sendiri, selain disebar ke kota-kota di Indonesia, juga ada yang diekspor."
Rakey mengangguk-angguk. Dia kira setelah dipanen langsung dibakar atau dioven akan manis.Â
"Sekarang saatnya kita makan siang," kata Kakek. "Ayo Key, Din, Siti, cuci tangan di pancuran, air yang dialirkan dengan talang bambu."
Di kejauhan terlihat Nenek, Mama, dan Bik Ikah nganteuran, membawa makanan untuk yang bekerja di kebun. Tiba-tiba Rakey merasakan perutnya berbunyi. Lapar. Â ***
Bila ingin tahu bagaimana cara mengirim cerpen ke majalah Bobo, klik saja DI SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H