Tidak susah membuat api unggun. Ranting kecil dan daun bambu kering membuat api besar. Ubi-ubi itu dimasukkan ke dalam api. Ranting dan daun bambu tidak lagi ditambah setelah Dindin bilang, "Sudah cukup."
Ubi bakarnya lumayan manis. Meski tidak semanis yang Rakey bayangkan. Tapi Rakey tertawa-tawa melihat Dindin dan Siti belepotan arang saat memakannya.
"Kamu juga belepotan arang, Key," kata Dindin. Rakey mengusap bibirnya, betul saja warna hitam menempel di tangannya.
"Kalau ingin ubinya manis dan legit seperti yang dulu dibawa Nenek, ubi simadu ini harus diunun dulu, disimpan diangin-angin minimal dua minggu," kata Kakek. "Lebih lama diunun semakin manis. Ubi Cilembu ini sangat terkenal lho. Coba aja lihat di internet, di setiap kota besar ada kios ovennya. Dari Cilembunya sendiri, selain disebar ke kota-kota di Indonesia, juga ada yang diekspor."
Rakey mengangguk-angguk. Dia kira setelah dipanen langsung dibakar atau dioven akan manis.Â
"Sekarang saatnya kita makan siang," kata Kakek. "Ayo Key, Din, Siti, cuci tangan di pancuran, air yang dialirkan dengan talang bambu."
Di kejauhan terlihat Nenek, Mama, dan Bik Ikah nganteuran, membawa makanan untuk yang bekerja di kebun. Tiba-tiba Rakey merasakan perutnya berbunyi. Lapar. Â ***
Bila ingin tahu bagaimana cara mengirim cerpen ke majalah Bobo, klik saja DI SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H