Bicara soal jodoh, sejak kecil pun terkadang sudah pernah sempat terpikirkan. Sewaktu masih usia SD pernah berimajinasi membayangkan hidup berkeluarga dengan orang yang disukai. Masa kecil memang masa yang sepertinya bebas leluasa berfantasi, menjadi superhero pun bisa. Hehe..
Adanya kawin cerai di tengah masyarakat, tentu terjadi dari banyak kemungkinan penyebab. Maka sebaiknya pilihan hidup yang tidak sebentar dijalani ini, perlu sekali dipersiapkan dengan sungguh-sungguh.
Merasa sudah berjodoh saja tidak cukup. Entah dengan cara menemukan sendiri atau karena dijodohkan orang lain. Jalani hidup memang tidak bisa hanya sebatas perasaan, tapi juga perlu pertimbangan akal demi kebaikan.
Belajar dari banyak pengalaman orang lain, segala sesuatu kemungkinan bisa terjadi. Yang sudah persiapan matang pun dapat terkendala bahkan sampai terjadi keretakan.
Ada kalanya terdorong rasa terpaksa, seperti merasa diteror dengan bermacam pertanyaan: "mana pacar?", "kapan nikah?"," Kok betah jomlo?" dan sejenisnya. Kemudian mempengaruhi keputusan tanpa berpikir panjang jauh kedepan.
Sepertinya baik jika sebelum menikah atau bahkan sebelum memilih jodoh, perlu memperhatikan hal-hal dibawah ini.
Yang pertama, persiapan mental sebelum melangkah. Mencari jodoh pun juga harus siap jika di tolak. Ketika menikah akan menghadapi berbagai permasalahan baru yang levelnya lebih tinggi dari keadaan saat sedang sendiri.
Ketiga, persiapan dari segi finansial. Dari mencari jodoh hingga menikah butuh kejelasan dalam hal ekonomi. Maka tidak heran para peserta di biro pecarian jodoh seringkali dengan percaya diri menunjukkan dirinya lajang, sudah bekerja dan siap hidup berkeluarga. Apalagi persoalan ekonomi yang sering menjadi pemicu keretakan rumah tangga.
Keempat, perlunya pemahaman yang benar tentang tujuan hidup berkeluarga. Menikah bukan hanya ketemu karena suka, menikah dan selesai urusannya. Melainkan mempunyai tujuan kebahagian bersama, bukan hanya salah satu pihak saja yang bahagia. Maka penting sekali, ada janji setia dalam suka maupun duka.
Kelima, mau memahami orang lain dalam kebersamaan. Yang tadinya sendiri, akhirnya harus berbagi dengan pasangan atau anak dalam keluarga. Pikiran dan perasaan baru, merasakian bahagia jika semua anggota keluarga bahagia.
Dan keenam, siap berperan aktif di lingkungan masyarakat. Tanggung jawab lebih besar dengan mengikuti berbagai aturan bersama dalam hidup sosial. Perlu kesiapan beradaptasi, dari tadinya sering tergantung orang tua menjadi bertanggung jawab atas banyak hal termasuk mengambil keputusan.
Ada anggapan-anggapan yang beredar di masyarakat, namun perlu dipirkan dan direnungkan kembali. "sudahlah menikah saja, rejeki sudahdiatur oleh Tuhan!', "Sudahlah segera menikah saja, nanti apa saja bisa diatasi! Buktinya orang-orang dulu bisa." dll. Dulu ya dulu, ke depan bagaimana tidak ada orang yang dapat meramal keadaan dan menjamin.
Mungkin adapula yang berpendapat, sering menghadapi persoalan akan membuat seseorang menjadi tangguh. Namun persoalan menyangkut hal-hal prinsip apakah bisa sembrono dan terburu-buru, yang akhirnya bisa mengorbankan perkawinan.
Semuanya jelas butuh proses, termasuk mempersiapkan diri. Falsafah Jawa menyebutkan, "Sak begja-begjane wong kang lali, isih begja sing eling lan waspada" (seuntung-untungnya orang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada). Ingat dan waspada gambaran orang yang dalam kondisi siap dan berjaga-jaga. Perlu melihat dari pengalaman orang lain dan bertanya kepada yang berpengalaman, termasuk orang tua.
Tidak bermaksud mengabaikan jodoh sudah di tangan Tuhan, hanya tekankan bahwa baiknya jika segala sesuatu dihadapi atau dijalani dengan kesiapan mantap.
Salam sehat dan semangat.
YW, 22 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H