Tahun 2019 sudah berlalu, sudah hampir dua minggu kita semua beraktifitas di tahun 2020. Mungkin bagi sebagian orang tahun 2019 adalah tahun yang berkesan, mungkin juga tahun yang biasa saja atau mungkin juga tahun yang cukup sedih untuk diingat-ingat.
Bagi saya pribadi, tahun 2019 itu "AJAIB", kenapa ajaib, karena di tahun 2019 saya belajar satu hal yang mungkin untuk sebagian orang sangat tidak menarik seperti yang saya alami.
Perjalanan ajaib yang paling pertama dimulai ketika saya mulai tertarik untuk memasak karena keadaan, seperti seringnya terserang radang tenggorokan, amandel, dan batuk pilek.
Semenjak di bangku kuliah saya terkadang memasak walau hanya sekadar tumis sayuran, nasi goreng atau goreng-gorengan dengan tepung instant yang jadi andalan. Memasak bagi saya saat itu adalah sesuatu yang biasa saja, atau bahkan merepotkan dan saya paling benci.
Seringkali makanan yang saya buat sendiri sangat jauh dari ekspektasi pribadi maupun orang lain, contohnya gosong, terlalu lembek, terlalu keras, belum matang sempurna, rasanya aneh dan bahkan sering sekali terlalu asin sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
Youtube, mungkin tidak asing lagi untuk didengar. Saat itu sedang sangat popular tentang vlog atau video blog berisikan konten wisata kuliner dan mukbang (rekaman langsung secara visual saat seseorang secara sengaja memakan makanan dalam jumlah besar, popular di Korea tahun 2010).
Dulu saya sangat hobi menonton video mukbang sampai muncul perasaan "ngiler" tiap kali melihat vlogger-vlogger wisata kuliner dan mendeskripsikan makanannya dengan sempurna dan selalu berhasil membangun daya imajinasi saya yang cukup liar.
Dari hal itu rasa penasaran saya pada memasak mulai muncul, kembali saya cari lagi video-video memasak, resep masakan, serta video demo masak chef-chef handal di Indonesia. Youtube, Google dan Instagram menjadi saksi bisu ketertarikan saya pada memasak.
Ada beberapa akun Instagram yang berisi konten memasak dan channel Youtube yang berisi masak-memasak saya subscribe agar tidak ketinggalan resep dan videonya.
Selain berburu resep secara online saya berguru pada ibu saya sendiri, orang pertama yang selalu saya kirimi foto hasil masakan saya dan selalu saya ganggu terkait resep masakan beliau.
Beberapa orang sering saya hubungi lewat whatsapp, obrolan singkat saat bertemu dan bahkan saya telpon untuk memastikan resep baru.
Sampai detik ini saya selalu memasak makanan yang saya makan, dan perjalanan memasak saya mulai melonjak ketika pindah ke Kota Semarang karena awal pindah ke Semarang radang tenggorokan menyerang kembali sehingga saya lebih percaya makanan buatan tangan sendiri daripada jajan di luar.
Namun, bukan berarti saya tidak pernah jajan makanan lagi, terkadang ketika kesibukan datang dan lelah menyerang saya memilih untuk membeli lauk dan memasak nasi sendiri.
Mudah bagi saya untuk beradaptasi dengan makanan di tempat yang baru karena di lidah ini hanya ada dua rasa, enak dan enak sekali.
Suatu saat saya pernah memasak untuk seorang teman dekat entah kenapa, komentarnya tentang masakan saya selalu buruk, namun saat itu rasa masakan saya memang keasinan dan tidak layak dimakan sebenarnya.
Rasanya ingin sekali marah dengan dirinya karena kritikannya yang tajam. Tapi saya pikir lagi sebenarnya saya yang salah karena tidak bisa mengira-ira seberapa banyak garam yang harus dibubuhi.
Dari pengalaman itu saya terus mencoba membuat menu-menu lain. Seringkali sudah belajar terus-menerus tetap saja keasinan, saya berguru dan terus mencari.
Libur natal 2019 saya habiskan untuk berguru dengan ibu tercinta, dirumah saya mencoba memasak cemilan kesukaan saya, cireng, mencoba membuat bumbu sambal goreng, ayam kecap, rending, empal gentong dan ayam sambal hijau.
Penasaran dengan resep soto Bandung buatan rumah, saya juga belajar memasak bumbunya, bangun pagi hari pergi ke pasar dengan ibu dan pulang dari pasar langsung mengolah makanan disambi menyapu, mengepel rumah dan mencuci baju.
Maklum ketika liburan rumah penuh dengan keponakan dan sanak saudara sehingga rumah harus selalu bersih agar tercipta kesan nyaman bagi tamu.
Selama liburan saya banyak makan diluar, berwisata kuliner di kota kelahiran, mulai dari jajanan kaki lima seperti makan empal gentong, empal asem, ayam goreng santa maria, martabak manis queen, mie koclok Pak Rasita, bakso sidodadi, combro ranjau, susu murni lawanggada dan makanan di dalam mall juga caf, tapi kali ini bukan sekadar makan seperti biasanya, saya mulai mencermati rasa, mencari bumbu apa yang digunakan.
Saya tak sempat mempraktikkanya di rumah karena waktu libur yang terbatas, namun saya sempat "meracuni" keponakan saya dengan mengajarinya memasak cemilan sendiri yaitu sushi isi sosis dan telur. Sudah sejak lama saya ingin mengajarinya memasak dan kesampaian juga.
Akhirnya saya mencoba resep Beef Sambal Matah, yang pernah saya makan di salah satu caf di Cirebon, saya coba masak dengan sentuhan khas tangan ini. Rasa kaget menghampiri saya ketika daging sapi yang saya olah rasanya jauh lebih enak dari beef sambal matah yang ada di caf.
Salah satu teman mencicipi masakan saya dan memuji masakan saya rasanya enak, entah apakah teman saya sedang lapar atau memang masakan saya benar-benar enak. Tapi saya yakin sekarang, beef sambal matah saya memang enak! Hehehe.
Perbedaan mencolok setelah saya memasak makanan saya sendiri adalah, saya merasa lebih sehat, baru sekali dalam enam bulan terserang radang tenggorokan, biasanya bisa lebih dari itu. Ini merupakan kemajuan yang sangat ajaib bagi saya.
Saya menarik sebuah kesimpulan, apa yang kamu benci dan kamu paling tidak suka, bisa jadi itu yang paling kamu suka, suatu saat nanti.
Semua orang punya usahanya masing-masing untuk berusaha menyukai apa yang tidak disuka, belajar keluar dari zona nyaman bisa jadi kuncinya, mencoba melihat sisi positif dari hal yang paling dibenci, itu resolusi saya di tahun 2020, selamat mencoba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H