Siang itu begitu panas, butiran keringat mengalir deras dari kening hingga pipiku. Seperti biasa, aku menunggu bus di seberang sekolah untuk pulang ke rumah. Mood-ku sedang cukup buruk, entah kenapa, aku tak begitu ingat. Cukup lama, sekitar 20 menit aku menunggu hingga akhirnya bus jurusan Solo - Kartasura menghampiriku. Seketika itu juga ketika kulambaikan tangan, tanda bahwa aku ingin ikut diangkut.
Bus sudah cukup penuh ketika aku melangkahkan kaki ke dalamnya. Hanya beberapa bangku kosong yang tersisa. Selayaknya seorang bocah bau kencur yang masih mengenakan seragam berwarna putih merah, aku memilih untuk duduk bersebelahan dengan seorang nenek (Aku merasa lebih nyaman ketimbang harus duduk bersama orang lain yang sebaya).
"Permisi", kataku ketika hendak duduk disebelah nenek itu. Nenek itu menyambutku dengan senyuman hangat, "monggo dek, pinarak". Tak lama setelah aku duduk, terjadi sebuah percakapan antara aku dengan si nenek.Â
"Rumahnya dimana, dek?", tanya si nenek.
"Kartosuro nek, Pracimoloyo tepatnya", jawabku sambil menekankan dimana tempat aku akan turun dari bus.
"Oh, dari Tugu Lilin masih lurus, ya?", tanyanya lagi.
"Iya, benar nek", kataku.
"Berarti dekat dengan rel kereta ya?", nenek itu memastikan.
"Iya nek, benar". Jawabku lagi.
Dari percakapan itu aku langsung menyimpulkan bahwa nenek itu mengenali daerah dimana aku tinggal. Mungkin ia pernah tinggal disana, atau barangkali ia memiliki kerabat yang tinggal di daerah yang sama denganku.
Perbincangan kami berlangsung cukup lama (setidaknya bagiku), lebih dari 10 menit. Bus berjalan dengan lambat, menghampiri dan menurunkan penumpang. Selesai berbincang, aku hanya terdiam melamun, berharap bus segera tiba di tempat tujuan karena rasa kantuk yang sudah tak tertahan.Â
Di tengah rasa kantuk dimana aku hendak tertidur lelap, nenek tadi kembali bertanya padaku,
"Dek, adek mau turun dimana?". Tanya nenek itu kembali. Sontak aku kaget dan bingung, akupun menjawab:
"Di Pracimaloyo, nek", jawabku.
"Pracimaloyo? Dimana itu?", tanya si nenek dengan nada penuh tanda tanya. Dalam hati aku semakin kaget dan bingung.
("Haaa?? Bukannya nenek ini tadinya tahu dengan persis rinci daerah dimana aku tinggal? Kenapa sekarang ia jadi seperti orang yang berbeda gini?"), gumamku waktu itu. Aku mencoba menjelaskan kembali kepada si nenek, namun tetap saja ia tidak mengerti dimana daerah yang aku bicarakan. Aneh, sagat aneh.
Apakah itu yang disebut orang dengan 'Faktor U'? Ah, aku belum setua itu untuk mengalaminya. Yang jelas, saat ini aku sudah bekerja. 12 tahun sudah berlalu semenjak peristiwa itu. Sebuah cerita yang menggelitik dan mungkin tak begitu penting bagi kalian, bahkan bagiku sendiri. Namun momen ini terus teringat dalam diriku. Sampai sekarang, entah kenapa.
...
Kini kita masuk ke inti dari tulisan ini. Di awal cerita aku sempat menyebutkan bahwa suasana hatiku sedang buruk. Namun, sesampai di rumah, suasana hatiku berubah menjadi lebih baik. Ya, perbincangan dengan sosok nenek yang tak kukenal secara tidak langsung mendinginkan kondisi hatiku yang saat itu sedang panas membara. Padahal tak sedikitpun aku bercerita tentang masalahku.
Sobat, pernahkah kalian merasakan pengalaman yang sama denganku? Waktu dimana kita berada di suatu tempat dan tanpa sengaja melakukan obrolan santai dengan orang lain. Bukankah itu terasa melegakan dan menyenangkan ketimbang kita hanya duduk terdiam, berpura-pura terjerumus dalam kesibukan masing-masing?
Kita terbiasa dididik untuk berhati-hati dengan orang asing. Sehingga dalam diri kita muncul stigma; "Orang asing itu berbahaya", "Orang asing itu patut diwaspadai", "Harus ada batas antara kitadengan orang yang baru kita temui", dsb. Itu sama sekali tidak salah. Memang kita harus selalu waspada terhadap orang yang tak kita kenal. Namun, ada kalanya kita perlu melenceng dari ajaran atau aturan yang pernah ditanamkan dalam diri kita waktu kecil. Tak selalu orang asing itu berbahaya. Bahkan, hanya segelintir yang demikian. Kita perlu tahu kapan kita harus bersikap ramah, dan kapan untuk tidak. Namun sekali lagi, bukan berarti kita harus takut.
Kio Stark, dalam sebuah talkshow di TED menyebutkan ada 2 manfaat ketika kita berbicara dengan orang asing, yaitu: Membebaskan dan memberikan keintiman. Mari kita bahas satu-persatu:
- MEMBEBASKAN
Seringkali otak kita mengkategorikan seseorang secara otomatis, apakah dia wanita atau pria, muda atau tua, Â berkulit putih, coklat, atau hitam dan banyak lainnya.. Sifat inilah yang membuat kita tidak menganggap orang lain sebagai individu yang nyata.
Pernahkah kalian berada di sebuah tempat antah berantah dimana kalian tak mengenal siapapun? Aku pernah. Itu adalah waktu dimana aku berada di negeri orang, seorang diri, hingga suatu waktu ada seseorang di Hotel yang menyapa aku dan ternyata ia juga berasal dari Indonesia. Walaupun kami hanya melakukan obrolan singkat, entah mengapa waktu itu aku merasa begitu lega.
Salah satu strategi untuk bertahan di lingkungan yang asing adalah dengan kita dianggap orang lain sebagai individu yang nyata. Caranya? Yup, dengan kita harus menganggap orang lain seperti itu pula.
- KEINTIMAN
Pernahkah kita bertemu dengan orang asing dan secara tak sadar kita membicarakan pilihan politik kita, permasalahan dengan kekasih, nilai ujian kita yang buruk, atau hal-hal semi konfidensial lainnya yang justru kita tak mau membicarakannya dengan orang-orang terdekat kita?
Tak bisa dipungkiri, seringkali kita memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap orang-orang yang kita anggap dekat. Ketika menceritakan tentang permasalahan yang kita alami, kita berharap orang tersebut mau memihak dan membela kita tanpa sedikitpun menghakimi jika kita melakukan kesalahan. Kita berharap kekasih kita bisa membaca pikiran kita hanya dengan kode-kode yang kita berikan. Kita berharap orang tua kita maklum dengan nilai ujian kita yang tak memuaskan. Namun, kenyataan tak seindah yang kita harapkan. Oleh karena itulah terkadang justu kita bisa lebih terbuka pada orang asing karena kita tahu bahwa tak ada konseskuensi ketika kita berbincang dengan mereka.
Untuk memulai obrolan dengan orang asing tentu ada metode pendekatan yang harus kita lakukan terlebih dahulu, seperti melakukan eye contact atau memberikan sedikit senyuman pada mereka. Setelah itu kita juga bisa berbasa-basi seperti mengomentari sesuatu yang ada di sekitar kita, misal: kabut asap yang tebal beberapa hari ini, pengamen dengan pakaian yang unik, instalasi batu yang lucu nan mahal, dsb. Kita juga bisa melakukan pujian terhadap pakaian atau sepatu mereka. Kalau sudah, cobalah untuk berbicara secara terbuka sehingga mereka juga mau terbuka pada kita.
Oh iya, aku sendiri sudah cukup sering melakukan metode-metode ini ketika aku berada di tempat umum. Hasilnya? Yah, tak selalu berhasil. Terkadang ada orang yang memang sedang ingin berdiam tak ingin diganggu dan menginginkan privasi. Tidak apa-apa, karena akupun juga sering begitu. Tapi percayalah berbicara dengan orang yang tidak kita kenal bisa memberikan kita kelegaan, momen yang unik dan pengalaman yang mungkin belum pernah kita miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H