Senin (27/3) dua pekan lalu, saya dan keluarga mendapat kesempatan untuk piknik ke Cilacap. Piknik "nebeng" dengan 30an guru senior dari Klaten. Piknik tersebut sebenarnya sudah direncanakan sejak 3 pekan sebelumnya. Namun, hingga hari H, saya masih belum tau mau ngapain di Cilacap? Mau ke mana saja di sana? “sudah pokoknya ikut saja” begitu kata Bapak "ketua" rombongan. Sebagai driver “andalan”, saya pun manut. Yang penting keluarga kecil saya turut serta dan hotel sudah disiapkan.
Setibanya di Cilacap Senin malam, mobil Van putih diarahkan menuju Hotel Atrium Cilacap, tempat Kami menginap.
“Malam ini Kita ke mana pak?” tanya saya pada “ketua” rombongan yang baru saja meminta kunci kamar di resepsionis hotel. “mandi dulu, terus jalan-jalan” kata Beliau, sambil memberikan kartu kunci Kamar. “Oke pak” jawab saya singkat. Sebenarnya tak sesingkat itu jawaban saya, ada sambungannya “semoga bukan jalan-jalan ke mol”, tetapi hanya dalam hati. Entahlah, saya tidak terlalu suka ke Mall. Syukurlah, malam itu Kami tidak diajak ke mol.
…
Keesokan harinya, Selasa (28/3), sembari sarapan di Hotel, rombongan sibuk mendiskusikan tempat wisata yang akan di kunjungi. Ada yang ingin ke pantai terdekat, ada yang ingin ke Benteng, ada juga yang ingin ke Kampung laut. Karena musyawarah tidak mencapai mufakat, voting pun digelar. Deal, Kampung Laut yang menjadi destinasi wisata kami. Sesuai harapan saya.
Dermaga Wijayapura Cilacap: Mengajak Nostalgia Saat Di Palembang Dulu
Dermaga Wijayapura Cilacap menjadi titik Start "ekspedisi" Nusakambangan ini. Empat perahu berukuran kecil, sudah bersandar menunggu Kami. Setiap perahu dapat mengangkut 10 orang. Keempat perahu tersebut ternyata telah disewa, dengan biaya sewa masing-masing 1 Juta/hari.
Kalau saya, naik perahu ini, justru sangat senang. Seolah mengajak saya bernostalgia. Perahu ini mengingatkan saya saat libur pasca hari penikahan dulu, yaitu berkunjung ke Pulau Kemaro Palembang. Pulau yang memiliki Pagoda 9 tingkat itu dijangkau menggunakan perahu kecil, menyusuri Sungai Musi. Perahu yang berukuran sama dengan perahu di demaga Wijayapura ini.
Dermaga Wijayapura Cilacap ini juga mengingatkan saat bertugas di Air Sugihan, daerah Ogan Komering Ilir (OKI). Daerah rawa tersebut berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Dari dermaga Jembatan Ampera Palembang, butuh 4 jam perjalanan perahu untuk sampai di daerah yang dahulu belum terjangkau listrik PLN dan langka sinyal telepon seluler itu. Yang tak pernah terlupakan saat bertugas di sana adalah harus menunda kepulangan, karena ketinggalan perahu. Perahu mampir ke dermaga hanya 1 kali sehari. Kalau ketinggalan, ya harus menunggu hari berikutnya. Alhasil, saya harus menambah hari di daerah -yang menurut sebagian penduduknya itu- “daerah terisolir”.
Menyusuri Sungai Nusakambangan dan Menikmati Sajian Pemandangannya
Sepanjang perjalanan, Kami disuguhkan pemandangan Mangrove. Tak jarang Kami menemui Nelayan yang memancing dan menjaring Ikan, nelayan berkelompok dan sendirian. Nelayan yang sendirian itu, tampak piawai mengendalikan perahu kecilnya. Duduk di salah satu tepiannya.
Pelan tapi pasti, perahu yang kami tumpangi melaju sekitar 40 km/jam, meninggalkan kawanan hewan penghuni sungai Nusakambangan. Kemudian bertemu lagi dengan kawanan yang lain, di tepian yang lain. Begitu seterusnya.
Lupa Kalau Sedang Berada Di Alcatraz-nya Indonesia
Saat saya tengah asik menikmati pemandangan alam, bapak "Nahkoda" berteriak: "itu lapas Batu". Ucap beliau sambil menunjuk bangunan putih di sisi kiri kami. Sejenak, keseruan penumpang kapal pun hening, tak ada canda. Semua menatap serius bangunan itu.
Terlebih, saat beberapa perahu yang rombongan Kami tumpangi, berjalan berjajar, seolah memberi sensasi balap perahu. Seru sekali. Keseruan yang seolah “tak peduli” dengan orang-orang di gedung megah, di dalam jeruji besi, di pulau Nusakambangan. Gedung dengan Super Maximum Security, yang sebagian penguni sedang menanti hukuman mati. Atau menunggu “rampungnya” hukuman seumur hidup.
Saya sempat memandang Lapas Batu dengan begitu dalam. Saya mencoba menerka, apa yang tengah penghuni lapas lakukan saat itu? Bagaimana kondisi dan perasaan keluarga yang ditinggalkan? Tapi, Ah, begitulah hidup, ada sebab dan akibat.
Sesaat kemudian, salah satu penumpang berkata “apik yo penjarane”. Yang kemudian d jawab oleh penumpang lain: “Gelem mlebu rono?”. “Gaahh” jawab singkat penumpang yang memuji bagusnya Lapas Batu tadi. Tawa pun kembali pecah, mengalahkan suara mesin perahu yang terus menjauh dari Lapas Batu.
Mampir Ke Pusat Konservasi Mangrove Segara Anakan
Baru sekitar 15 menit menyusuri anak sungai ini, Kami berlabuh di sebuah dermaga kecil. Adalah dermaga Pusat Konservasi dan Study Plasma Nutfah Mangrove Indonesia. Pusat konservasi ini dibangun atas kerja keras dan kerjasama Pertamina, Universitas Jenderal Soedirman dan Kelompok Tani Patra Krida Wana Lestari. Tanpa kerja keras dan kerjasama tersebut, rasanya mustahil dapat mengelola dan mengembangkan kawasan Mangrove seluas 16.595 Hektar ini.
Mengutip berita dari Laman Antara, diketahui bahwa hampir 40% hutan Mangrove di wilayah Indonesia telah rusak. Padahal, Mangrove memiliki manfaat yang besar untuk alam, termasuk manusia. Selain untuk menjaga intrusi air laut ke daratan dan menguatkan struktur tanah, Mangrove juga dapat menjadi rumah bagi hewan air yang bermanfaat untuk manusia. Lantas, mengapa 40% hutan Mangrove (di)rusak?
Melalui Pusat Konservasi dan Study Plasma Nutfah Mangrove Indonesia ini, Pertamina, pemerintah setempat dan pihal lain yang terlibat, berusaha untuk menumbuh-kembangkan Mangrove. Dan, melului ekowisata di Pusat Konservasi Mangrove ini, harapannya bisa memberi edukasi pada pengunjung, tentang pentingnya keberadaan Mangrove.
…
Bersambung…
(Ekpedisi Goa dan Pantai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H