Pelan tapi pasti, perahu yang kami tumpangi melaju sekitar 40 km/jam, meninggalkan kawanan hewan penghuni sungai Nusakambangan. Kemudian bertemu lagi dengan kawanan yang lain, di tepian yang lain. Begitu seterusnya.
Lupa Kalau Sedang Berada Di Alcatraz-nya Indonesia
Saat saya tengah asik menikmati pemandangan alam, bapak "Nahkoda" berteriak: "itu lapas Batu". Ucap beliau sambil menunjuk bangunan putih di sisi kiri kami. Sejenak, keseruan penumpang kapal pun hening, tak ada canda. Semua menatap serius bangunan itu.
Terlebih, saat beberapa perahu yang rombongan Kami tumpangi, berjalan berjajar, seolah memberi sensasi balap perahu. Seru sekali. Keseruan yang seolah “tak peduli” dengan orang-orang di gedung megah, di dalam jeruji besi, di pulau Nusakambangan. Gedung dengan Super Maximum Security, yang sebagian penguni sedang menanti hukuman mati. Atau menunggu “rampungnya” hukuman seumur hidup.
Saya sempat memandang Lapas Batu dengan begitu dalam. Saya mencoba menerka, apa yang tengah penghuni lapas lakukan saat itu? Bagaimana kondisi dan perasaan keluarga yang ditinggalkan? Tapi, Ah, begitulah hidup, ada sebab dan akibat.
Sesaat kemudian, salah satu penumpang berkata “apik yo penjarane”. Yang kemudian d jawab oleh penumpang lain: “Gelem mlebu rono?”. “Gaahh” jawab singkat penumpang yang memuji bagusnya Lapas Batu tadi. Tawa pun kembali pecah, mengalahkan suara mesin perahu yang terus menjauh dari Lapas Batu.
Mampir Ke Pusat Konservasi Mangrove Segara Anakan
Baru sekitar 15 menit menyusuri anak sungai ini, Kami berlabuh di sebuah dermaga kecil. Adalah dermaga Pusat Konservasi dan Study Plasma Nutfah Mangrove Indonesia. Pusat konservasi ini dibangun atas kerja keras dan kerjasama Pertamina, Universitas Jenderal Soedirman dan Kelompok Tani Patra Krida Wana Lestari. Tanpa kerja keras dan kerjasama tersebut, rasanya mustahil dapat mengelola dan mengembangkan kawasan Mangrove seluas 16.595 Hektar ini.