Pendidikan kejuruan sejatinya bukan hanya mencetak calon tenaga kerja terampil, tetapi juga diharapkan bisa mengangkat potensi daerah di mana satuan pendidikan tersebut berada. Namun, masih ada SMK yang menawarkan jurusan/bidang keahlian yang tidak sesuai dengan potensi daerah.
Contoh nyatanya adalah suatu daerah memiliki potensi pertanian yang bisa dikembangkan. Tetapi, SMK di daerah tersebut tidak menawarkan jurusan yang fokus dibidang teknologi pertanian. Justru membuka jurusan Otomotif (seperti bidang Teknik Kendaraan Ringan/ Teknik Sepeda Motor), karena ramai peminat. Ketika itu terjadi, maka lulusannya akan sulit mendapat pekerjaan karena minimnya lapangan kerja bidang otomotif. Selain itu, potensi pertanian daerah tersebut sulit dikembangkan, karena minimnya tenaga terampil bidang teknologi pertanian.
Penguatan Link and Match: Kerjasama Lintas Kementerian
Upaya yang bisa dilakukan untuk mempertajam pendidikan kejuruan di SMK adalah menguatkan konsep “Link and Match”. Mengapa harus dikuatkan? Karena memang masih lemah.
Tahun 2012, Saya melakukan penelitian mengenai pola kemitraan SMK dan Industri, yang melibatkan 21 industri di Yogyakarta. Penelitian tersebut mengungkap bahwa kemitraan SMK dan industri masih tergolong lemah, mulai dari perencanaan, point kerjasama hingga pelaksanaannya. Padahal, antara SMK dan Industri harus terjalin hubungan yang harmonis karena Mereka saling membutuhkan. Solusinya, jelas, yaitu pihak SMK dan Industri harus duduk bersama untuk menyusun kembali konsep Link and Match.
Masalah yang kerap terjadi pada penerapan Link and Match adalah kesulitan SMK dalam mencari mitra Industri yang representatif terhadap bidang keahlian di SMK. Penyebabnya, masih ada industri yang “enggan” untuk bekerjasama dengan SMK. Alasannya, tidak ingin “diganggu” dengan persoalan-persoalan penyelenggaraan SMK, seperti penyusunan kurikulum, magang siswa, magang/pelatihan guru hingga evaluasi/uji kompetensi siswa.
Tentu tak bisa sepenuhnya menyalahkan industri, sebab tujuan utama mereka adalah mencari keuntungan dari aktifitas produksinya. Namun, sebenarnya, kerjasama dengan SMK akan menguntungkan industri. Misalnya dari sisi rekrutmen tenaga kerja. Bersama SMK, Industri bisa ikut berperan dalam membentuk “bibit-bibit” tenaga kerja. Sehingga, ketika “bibit” tersebut lulus SMK, Mereka akan benar-benar siap kerja. Mereka bisa langsung masuk Industri tanpa proses adaptasi kompetensi, tanpa training tambahan yang membutuhkan waktu lama.
Pemerintah sebagai regulator, tentu tak elok jika hanya “membiarkan” SMK berjuang sendiri untuk mencari industri yang relevan dan representatif terhadap kebutuhan Mereka. Pemerintah hendaknya turut membukakan jalan. Misalnya dengan memuat regulasi tegas mengenai keharusan industri bermitra dengan SMK. Hal itu bisa dilakukan oleh Kementerian Perindustrian.
Kementerian Perindustrian juga hendaknya berkomunikasi intensif dengan Kementerian Ketenagakerjaan, guna membahas masalah ketenagakerjaan di dunia industri. Kemdikbud sebagai induk dari SMK juga hendaknya menggandeng Kementerian Ristek dan Dikti, yang menaungi pendidikan tinggi, hubungannya pada pendidikan tinggi kejuruan. Perguruan Tinggi kejuruan seperti Politeknik, Sekolah Vokasi atau institusi pendidikan tinggi bidang kejuruan lain bisa dirangkul untuk pembinaan dan penguatan SMK.
Pendidikan Semesta ala Presiden Joko Widodo