Jika biasanya, hanya mengeluarkan Rp 6.450 sudah dapat 1 liter bensin jenis Premium, nantinya harus mengeluarkan Rp 6.900 – Rp 7.300 (tergantung lokasi) untuk mendapat 1 liter Pertalite. Perbedaan harga tersebut memang bukan kenaikan harga, karena produknya dan kualitasnya berbeda. Tetapi, mungkin, tak sedikit masyarakat akan menganggap perbedaan harga itu adalah sebuah kenaikan harga, karena mereka 'dipaksa' untuk membeli bensin dengan harga yang lebih tinggi.
Apapun istilahnya -harga naik atau beda harga, konsumsi Pertalite yang harganya lebih mahal dari Premium, pasti berdampak pada bertambahnya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar kendaraan. Ketika itu terjadi, sudah bisa dibayangkan rambatan dampak lain. Ya, naiknya harga kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan), ongkos transportasi umum (tradisional), harga sparepart kendaraan dan lain sebagainya.
Mungkin dampaknya tidak sehoror kenaikan harga Premium pada November 2014 lalu, ketika premium melonjak dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500. Ketika itu, nyaris semua kebutuhan hidup berubah harga. Meski tak seheboh itu, tapi disinyalir akan mempengaruhi kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat.
Premium Hanya Untuk Transportasi Publik?
Kabarnya, rencana penghapusan Premium masih mempertimbangkan keberadaan transportasi publik. Sebab, jika transportasi publik dipaksa menggunakan Pertalite, apalagi Pertamax, tarif angkutan tersebut akan melonjak. Jika itu terjadi, akan mempengaruhi kenaikan harga barang/jasa yang lain, misalnya harga kebutuhan pokok harian. Untuk menghindari hal tersebut, maka angkutan umum masih boleh menggunakan Premium.
Pertanyaannya, berapa jumlah unit kendaraan untuk transportasi umum? dan berapa persen masyarakat yang menggunakan transportasi umum? Sangat kecil. Pasalnya, transportasi umum sangat terbatas, terbatas dari segi kuantitas, kualitas, jangkauan trayek maupun waktu operasional. Apalagi di daerah bukan perkotaan. Tak heran jika banyak masyarakat lebih memilih menggunakan transportasi pribadi, seperti sepeda motor dan mobil.
Jika mengamati traffic kendaraan di pasar tradisional, sebagian besar pedagang menggunakan kendaraan pribadi untuk mengangkut barang dagangan. Bisa kendaraan milik sendiri atau kendaraan orang lain dengan sistem sewa jasa angkut (bayaran harian, mingguan atau bulanan). Tentu nantinya mereka akan menggunakan Pertalite atau Pertamax, dampaknya akan mempengaruhi biaya angkut barang pasar. Kondisi ini tak pelak akan mempengaruhi harga jual barang di pasar.
Fakta lain adalah angkutan umum banyak menggunakan solar sebagai bahan bakar. Belum diketahui bagaimana nasib solar, apakah akan hilang dan digantikan dengan produk yang lebih baik. Dengan demikian, jika alasan dipertahankannya Premium untuk angkutan umum guna menahan gejolak harga kebutuhan lain, maka tidak akan efektif.
Pemerintah dan pihak terkait hendaknya kembali melihat apa sebenarnya tujuan dari penghapusan premium. Jika tujuannya untuk faktor BBM yang lebih baik, aspek lingkungan dan teknologi, maka penghapusan premium secara total dapat menjadi opsi utama. Dengan catatan, perlu ada harga khusus untuk angkutan umum. Dengan memberikan jalur Pertalite/Pertamax khusus angkutan umum di SPBU, termasuk harga khusus. Meskipun mungkin gejolak harga tetap terjadi, tapi paling tidak, akan ada perbaikan dari polusi yang ditimbulkan oleh angkutan umum. Sesuai tujuan awal penghapusan premium.
Mungkinkah Ada Penyesuaian Harga Pertalite?
Jika memang Premium jadi dihapus akhir tahun ini, mungkin pemerintah dan pihak terkait perlu menyesuaikan harga Pertalite. Jika dilihat dari satuan liter, selisih harga Premium dan Pertalite memang tidak banyak, sekitar 500 rupiah. Tetapi, akan sangat terasa karena masyarakat membelinya tidak hanya 1 liter dan masyarakat butuh itu setiap hari. Hal itu berpotensi memberatkan masyarakat. Apalagi ditambah dengan potensi “penyesuaian” harga kebutuhan pokok akibat “kenaikan harga” bensin.
Oleh sebab itu, mungkin, sebaiknya Pemerintah melalui pihak terkait, melakukan penyesuaian harga Pertalite. Pertalite sebagai Bahan Bakar Khusus (BBK) berada dibawah kendali Pertamina. Saya tidak tahu berapa biaya produksi untuk 1 liter Pertalite dan faktor apa saja yang mempengaruhi perhitungan harga jual per liter Pertalite. Namun, berdasarkan informasi yang saya kutip dari Tempo.co, turunnya harga Pertalite pada Mei 2016 lalu disebabkan oleh penyesuaian dengan harga minyak dunia yang cenderung turun (sumber).
Ternyata, akhir Agustus 2016 kemarin, harga minyak dunia kembali melemah. Tren melemahnya harga minyak dunia diperkirakan akan terus berlanjut. Sebab, Iran mengeluarkan pernyataan resmi tentang upayanya untuk terus menggenjot produksi minyak (sumber). Hal itu jelas akan mempengaruhi harga minyak dunia ke depan. Mungkin ini bisa berpengaruh terhadap penurunan harga Pertalite, seperti Mei 2016 lalu. Semoga saja. Agar masa transisi Premium ke Pertalite tidak menimbulkan gejolak ekonomi yang memberatkan masyarakat.