[caption caption="Petani Karet dan Nanas (sumber: Tempo.com dan Detik.com)"][/caption]Selasa (2/2) kemarin, secara mendadak saya memutuskan untuk pulang ke kampung, karena Bapak mendadak sakit. Kampung halaman saya di Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Perjalanan dari Jogja ke Palembang hanya membutuhkan waktu sekitar 90 menit, dengan menumpang pesawat langsung tanpa transit. Dari Bandara SMB II Palembang menuju kampung, saya masih harus menempuh perjalanan sekitar 90 menit lagi, dengan jarak kurang lebih 70 Km.
Memasuki kawasan kampung, saya dibuat heran dengan pemandangan pekarangan rumah warga yang dipenuhi tanaman Nanas yang tertancap rapi. Karena penasaran dan heran, saya pun bertanya kepada saudara yang sedang asik memegang kemudi mobil, “Kok banyak yang menanam Nanas?” “Sekarang banyak yang mencari usaha lain, sejak harga karet anjlok” jawabnya. “ Bukan cuma di pekarangan rumah, mereka juga menanam Nanas di kebun. Kebun karet banyak yang ditebang, diganti nanas” imbuhnya. “Bukan cuma Nanas, banyak juga yang menanam singkong racun” tambahnya lagi.
Wow... Luar biasa perubahan komoditas pertanian di kampung saya. Padalah, enam bulan lalu, ketika saya mudik, belum banyak yang menanam singkong racun dan belum ada yang menanam nanas secara massal. Enam bulan lalu, memang karet masih bisa diandalkan untuk hidup, dengan harga Rp 8.000 – Rp 9.000/Kg. Meskipun harga itu sudah jatuh bebas dr Rp 15.000/Kg, bahkan 2011 pernah mencapai Rp 25.000/Kg.
Namun, sekarang harga karet hanya Rp. 5.500-6.000Kg. Harga karet anjlok, tetapi petani karet tidak menjerit! Lha wong mereka tidak memiliki daya untuk menjerit, mereka lemas! Bagaimana tidak lemas, sudah harganya murah ditambah lagi dengan produksi karet yang rendah karena dampak kemarau panjang kemarin. Lengkap lah penderitaan mereka. Celakanya, mereka adalah petani karet sejati dan setia, artinya pohon karet adalah satu-satunya sumber penghasilan mereka. Tidak ada yang lain.
Harga jual karet yang anjlok, diikuti dengan rendahnya harga jual kebun karet. Dua tahun lalu, 1 hektar kebun karet usia produktif (usia 7-8 tahun) laku dengan harga Rp. 150 juta. Sekarang, mau menjual dengan harga Rp 70juta pun sulit. Bahkan, teman saya baru saja membeli 1 hektar kebun karet produktif seharga Rp. 50 juta. Sungguh penurunan yang luar biasa.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, harga karet akan tetap rendah, paling tidak untuk beberapa tahun ke depan. Salah satu variabel penentu harga karet adalah harga minyak dunia.
Seperti kita ketahui, harga minyak dunia saat ini masih rendah, pada kisaran $32 - 35/barel (sumber: detik.com). Bahkan sempat menyentuh angka $28/barel pada pertengahan Januari lalu, harga terendah sejak 2003 (sumber: bbc.com). Isunya, harga rendah minyak dunia akan bertahan cukup lama, berdasarkan kondisi ekonomi dan pasokan minyak di negara penghasil. Jika harga minyak tetap rendah dalam kurun waktu yang lama, maka harga karet diperkirakan akan rendah dalam waktu yang lama pula.
Tetapi…, tak sedikit petani atau buruh tani karet yang memiliki pandangan berbeda mengenai penyebab anjloknya harga karet. Harga karet cenderung turun sejak pergantian pemerintahan dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi. Jadi, tidak perlu saya jelaskan apa dugaan sebagian petani, perihal penyebab rendahnya harga karet,hehehe…
Apapun penyebab pasti anjloknya harga karet, para petani tengah berusaha mencari pandangan usaha lain, agar dapur tetap ngebul dan anak tetap sekolah. Bagi petani yang percaya dengan penyebab karet rendah adalah rendahnya harga minyak dunia, mereka mulai beralih. Mereka seperti harus mencari pengganti karet, karena mereka tau, harga karet akan tetap rendah dalam waktu lama, layaknya minyak dunia.
Kini, petani karet tak setia lagi dengan karet. Mereka harus mencari usaha lain, agar bisa hidup dan menghidupi keluarga. Para buruh tani karet banyak yang merantau ke daerah lain, banyak juga yang menjadi buruh proyek pembangungan dan tak sedikit yang beralih menjadi buruh pabrik. Sedangkan para petani dan pemilik kebun, banyak yang berspekulasi dengan mengganti pohon Karet menjadi Nanas. Ya, Spekulasi. Spekulasi terhadap modal besar untuk menanam dan tren nanas yang masih terbilang baru di kampung.
Keputusan untuk menebang karet yang sudah mereka tanam 10 hingga 15 tahun yang lalu, dan mengganti dengan Nanas, bukanlah keputusan mudah. Jika mereka menebang karet 1 hektar, artinya mereka kehilangan pendapatan sekitar 1 - 2juta/bulan (tergantung jenis, usia pohon karet dan harga saat ini). Dan untuk menggantinya dengan nanas, mereka membutuhkan modal awal yang relatif besar, tak kurang dari Rp.12juta.
Satu hektar lahan, mereka tanami 30.000 – 35.000 bibit Nanas. Harga bibit nanas Rp. 250 – 300/bibit. Jadi, sudah dapat dihitung berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membeli bibit Nanas. Itu hanya untuk bibit, belum untuk biaya penyiapan lahan dan pupuk.
[caption caption="Salah satu Kebun Nanas (ex kebun karet) di Kampung Saya (dok. pribadi)"]
Dengan mengganti karet menjadi nanas, mereka “puasa” 1–2 tahun dan berlimpah uang pada tahun berikutnya. Memang menggiurkan. Anda berminat menjadi petani Nanas? Silahkan mencoba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H