Mohon tunggu...
Yoseni Lita Veronika Turnip
Yoseni Lita Veronika Turnip Mohon Tunggu... Karyawan -

Penyayang kucing yang terkadang malu-malu kucing :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Money Politics", Si Perusak Moral Bangsa

2 April 2018   20:19 Diperbarui: 3 April 2018   02:25 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: beritagar.id)

"Pemilu diartikan sebagai  mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai." - (Ramlan, 1992:181)

Persaingan politik Pemilihan Kepala Daerah selalu menarik untuk diperbincangkan. Sengitnya persaingan para calon pemimpin membuat isu praktik politik uang sering terjadi dan terkadang luput dari pengawasan. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sendiri sudah mendorong penegak hukum untuk memproses hukum pelaku politik uang berdasarkan sanksi pidana yang ada dalam pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 149 KUHP sendiri berbunyi: "Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah."

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sendiri dalam visi dan misinya melaksanakan tugasnya sebagai pengawal yang terpercaya, demokratis, bermartabat, dan berkualitas.Pengawal berarti berada di garda terdepan bersama masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu;T erpercaya: Melakukan pengawasan dalam bentuk pencegahan dan penindakan, serta penyelesaian sengketa secara profesional, berintegritas, netral, transparan, akuntabel, kredibel, dan partisipatif sesuai asas dan prinsip umum penyelenggaraan pemilu demokratis; Demokratis: Melaksanakan pengawasan pemilu secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur, adil, dan kompetitif yang taat hukum, bertanggung jawab (accountable), terpercaya (credible), dan melibatkan masyarakat (participation); Bermartabat : Melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu berupa pencegahan dan penindakan, serta penyelesaian sengketa sesuai prinsip-prinsip moral sosial yang tinggi, seperti berani, tegas, bertanggung jawab, jujur, adil dan bijaksana; Berkualitas : Pemilu yang memiliki legitimasi baik proses maupun hasil yang ditentukan oleh kinerja pengawasan yang dapat diukur tingkat keberhasilannya (aspects of performance).

Peran Masyarakat

Kita sebagai masyarakat sudah seharusnya ikut berpartisipasi bersama dengan Bawaslu dalam mengawasi pemilu agar tidak menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku, termasuk mencegah adanya politik uang atau money politics. Karena pihak yang diuntungkan dalam praktik moneypolitics adalah pihak pemberi, dan mereka akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. 

Lantas, pihak mana yang dirugikan? Ya, masyarakat. Karena ketika partai politik tersebut berhasil memenangkan kekuasaan, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan pihak penyumbangnya, daripada masyarakat pada umumnya.

Hal ini akan berakibat pada perubahan wajah demokrasi sebagai "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" menjadi "dari orang kaya, oleh orang kaya, dan untuk orang kaya". Pada tataran ini masyarakat sebagai subjek dalam demokrasi terdegradasi menjadi tidak lain dan tidak bukan hanya sebagai intrumen politik semata.

Catatan Pilkada

Pada catatan Pilkada tahun 2017, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menemukan 600 dugaan politik uang pada Pilkada Serentak 2017. Temuan tersebut terjadi di 101 daerah yang menggelar Pilkada.

Sebelumnya, pemerintah sudah mengantisipasi terjadinya praktek politik uang dengan merevisi Undang-Undang Pilkada. Revisi UU Pilkada memang ditunggu-tunggu, mengingat perubahan UU diharapkan akan semakin memperbaiki pelaksanaan Pilkada agar tidak seperti Pilkada serentak 2015.

Pada Pilkada 2015, laporan dugaan Tindak Pidana Pilkada (TPP) terjadi sebanyak 1.090 kasus, dengan 900 kasus merupakan dugaan pemberian uang kepada pemilih (politik uang) atau yang sering dijuluki dengan "Serangan Fajar".

Berdasarkan catatan Founding Father House (FFH), dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2010-2016) penerimaan masyarakat terhadap politik uang fluktuatif. Di tahun 2010, masyarakat yang setuju dengan politik uang mencapai (64,5%), 2011 (61%), 2012 (53%), 2013 (58,5%), 2014 (66%), 2015 (63%) dan 2016 (61,8%)

Temuan ini sejalan dengan hasil riset untuk masyarakat yang menolak adanya politik uang. Di 2010, responden yang mengaku menolak pemberian amplop sekitar 35,5%, 2011 (39%), 2012 (47%), 2013 (41,5%), 2014 (34%), 2015 (37%), dan 2016 jumlahnya kembali naik menjadi 38.2%.

Data 5 daerah juara politik uang tahun 2015. (sumber: Bawaslu dan Kompas)
Data 5 daerah juara politik uang tahun 2015. (sumber: Bawaslu dan Kompas)
Stop!  Budaya Money Politics

Begitu berharganya suara kita dalam pemilihan, tapi bukan berarti pilihan politik bisa dengan mudah digadai dengan uang. Ya, money politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa. Masyarakat menjadi semakin terbiasa dengan praktik money politics dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam musim kampanye banyak sekali masyarakat yang menjadi simpatisan bayaran. Parahnya lagi, banyak yang menjadikannya sebagai mata pencaharian dadakan pada saat musim kampanye.

Sebagai masyarakat yang menginginkan kejujuran dan kekonsistenan dari para calon pemimpin, sebaiknya kita, masyarakat Indonesia, juga harus berlaku jujur dan tidak mudah dibutakan oleh sogokan materi (uang) dari para calon pemimpin yang ingin menduduki kursi kekuasaan dengan cara yang tidak wajar.Karena sekeras dan selantang apapun pihak  Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengajak masyarakat untuk tidak mudah terbujuk rayu politik uang, apabila masyarakat bersikap apatis atau tidak peduli, praktik politik uang tidak akan pernah berakhir.

Kita sudah sering melihat para pemimpin daerah maupun negara yang terlibat kasus korupsi sana sini. Lalu kita dengan cepat ikut mengutukinya karena telah memakan uang rakyat. Lalu apakah kita bisa disebut mendukung pemilihan kepala daerah yang bersih dan jujur apabila kita juga ikut menikmati uang dari praktik politik yang dilakukan para calon legislatif?

Budaya menerima uang dari para kandidat demi mempengaruhi hak pilih kita memang sudah menjadi rahasia umum dan masih mengakar di beberapa daerah. Hal itu menandakan bahwa tingkat kesadaran kita dalam mendukung pilkada dan pemilu yang bersih dan transparan masih sangat minim. Maka dari itu, upaya pembenahan pemilu dan demokrasi memerlukan kontribusi dan partisipasi aktif dari seluruh warga Indonesia. Baik itu elemen masyarakat, partai politik, Bawaslu, pemerintah, maupun KPU.

Nasib bangsa ini ditentukan dari siapa wakil rakyat dan pemimpinnya. Nasib wakil rakyat dan pemimpin ditentukan dari proses dan kualitas pemilu yang ada. Proses dan kualitas pemilu yang ada ditentukan oleh cerdasnya pemilih. Untuk itu, marilah kita secara bersama-sama menjadi pemilih yang cerdas untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah yang berkualitas. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun