Pada Pilkada 2015, laporan dugaan Tindak Pidana Pilkada (TPP) terjadi sebanyak 1.090 kasus, dengan 900 kasus merupakan dugaan pemberian uang kepada pemilih (politik uang) atau yang sering dijuluki dengan "Serangan Fajar".
Berdasarkan catatan Founding Father House (FFH), dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2010-2016) penerimaan masyarakat terhadap politik uang fluktuatif. Di tahun 2010, masyarakat yang setuju dengan politik uang mencapai (64,5%), 2011 (61%), 2012 (53%), 2013 (58,5%), 2014 (66%), 2015 (63%) dan 2016 (61,8%)
Temuan ini sejalan dengan hasil riset untuk masyarakat yang menolak adanya politik uang. Di 2010, responden yang mengaku menolak pemberian amplop sekitar 35,5%, 2011 (39%), 2012 (47%), 2013 (41,5%), 2014 (34%), 2015 (37%), dan 2016 jumlahnya kembali naik menjadi 38.2%.
Begitu berharganya suara kita dalam pemilihan, tapi bukan berarti pilihan politik bisa dengan mudah digadai dengan uang. Ya, money politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa. Masyarakat menjadi semakin terbiasa dengan praktik money politics dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam musim kampanye banyak sekali masyarakat yang menjadi simpatisan bayaran. Parahnya lagi, banyak yang menjadikannya sebagai mata pencaharian dadakan pada saat musim kampanye.
Sebagai masyarakat yang menginginkan kejujuran dan kekonsistenan dari para calon pemimpin, sebaiknya kita, masyarakat Indonesia, juga harus berlaku jujur dan tidak mudah dibutakan oleh sogokan materi (uang) dari para calon pemimpin yang ingin menduduki kursi kekuasaan dengan cara yang tidak wajar.Karena sekeras dan selantang apapun pihak  Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengajak masyarakat untuk tidak mudah terbujuk rayu politik uang, apabila masyarakat bersikap apatis atau tidak peduli, praktik politik uang tidak akan pernah berakhir.
Kita sudah sering melihat para pemimpin daerah maupun negara yang terlibat kasus korupsi sana sini. Lalu kita dengan cepat ikut mengutukinya karena telah memakan uang rakyat. Lalu apakah kita bisa disebut mendukung pemilihan kepala daerah yang bersih dan jujur apabila kita juga ikut menikmati uang dari praktik politik yang dilakukan para calon legislatif?
Budaya menerima uang dari para kandidat demi mempengaruhi hak pilih kita memang sudah menjadi rahasia umum dan masih mengakar di beberapa daerah. Hal itu menandakan bahwa tingkat kesadaran kita dalam mendukung pilkada dan pemilu yang bersih dan transparan masih sangat minim. Maka dari itu, upaya pembenahan pemilu dan demokrasi memerlukan kontribusi dan partisipasi aktif dari seluruh warga Indonesia. Baik itu elemen masyarakat, partai politik, Bawaslu, pemerintah, maupun KPU.
Nasib bangsa ini ditentukan dari siapa wakil rakyat dan pemimpinnya. Nasib wakil rakyat dan pemimpin ditentukan dari proses dan kualitas pemilu yang ada. Proses dan kualitas pemilu yang ada ditentukan oleh cerdasnya pemilih. Untuk itu, marilah kita secara bersama-sama menjadi pemilih yang cerdas untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah yang berkualitas. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H